BERPIKIR DAN BERDOA

BERPIKIR DAN BERDOA

Rene Descartes (1596-1650) dianggap sebagai bapak filsafat modern dan pelopor aliran rasionalisme. Ia pernah melempar semboyan “cogito ergo sum” (saya berpikir, maka saya ada). Semboyan ini mengantarkannya pada titik wujud manusia hadir bila ia berfikir (konstruktif). Ketika berpikirnya sebatas "mengisi perut", maka  tampil sisi kehewanannya.

Untuk itu, sosok manusia selalu berpikir bagi kemaslahatan, bukan kemaksiatan. Ia takut bila yang dilakukan tak mampu membawa kebenaran. Sikap ini menjadikannya terhindar dari sifat sombong dan merasa mulia. Ia menemukan bahwa pembeda manusia dan hewan hanya pada kemampuan berpikir kebajikan. Bila olah pikir terus dilakukan, maka ia akan menghasilkan peradaban yang mampu dinikmati seluruh alam. Namun, bila olah pikir cerdas tak pernah digunakan dan iman disingkirkan dalam menetapkan kebijakan, maka akan timbul petaka dan kehancuran (mafsadah).

Sungguh, pendapat Descartes bukan sesuatu yang baru secara substansial. Sebab, para pemikir Islam telah lebih dahulu merumuskan eksistensi olah akal. Bahkan, bukan sebatas berpikir tentang manusia dan alam (horizontal), tapi ruang yang menembus olah hati untuk menemu-kan Allah Yang Maha Pencipta (vertikal). Di antara para filosuf muslim yang berpikir dengan kekuatan olah pikir murni adalah Ibn Rusyd, al-Kindi, Ibn Sina, dan lainnya. Namun, mereka menggunakan akal untuk berpikir tentang alam tak membuat sedebu kesombongan.

Bahkan, meski mereka mampu membangun olah rasa tentang Allah, tapi tak membuatnya hilang adab sebagai hamba-Nya. Mereka mengguna-kan olah fikir dan rasa sesuai adab dan batasan yang diajarkan Rasulullah. Hal ini sesuai sabdanya: "Berpikirkanlah tentang ciptaan Allah, jangan pikirkan zat-Nya, karena sesungguhnya kamu tak akan mampu mengukur kekuasaan-Nya" (HR. Tirmidzi).

Perintah manusia untuk berpikir dinyatakan Allah melalui firman-Nya : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya" (QS. al-'Alaq : 1-5).

Kata iqra’ dalam ayat di atas memiliki berbagai macam makna, yaitu : membaca, menyampaikan, menelaah, mendalami, memahami, dan lain sebagainya. Makna ini tak terlepas dari proses olah akal (pikir) dan olah hati (rasa atau zikir).

Proses dan dinamika olah fpkir berbeda dengan olah zikir (doa). Sebab, berdoa bersifat metafisika vertikal. Meski bila ditelusuri keduanya bisa bermuara pada tujuan yang sama, tapi cara (materi dan situasi) yang berbeda, antara lain:

PertamaBerfikir membangun argumen cerdas dan memunculkan ide kreatif-inovatif tanpa menghilangkan adab ilmu.  Dinamika berfikir yang argumentatif akan membangun kecerdasan yang beradab (intelektual konstruktif). Proses berfikir cerdas hanya digandrungi dan diminati oleh kaum pemilik kecerdasan hakiki. Namun, cara ini kurang menarik untuk dikonsumsi karena tak banyak yang mau "membeli". Sebab, mengkonsumsinya memerlukan energi akal dan waktu untuk mengolahnya, serta budi untuk menyerap-nya. Olahan akal dan hati akan melahirkan ilmu yang bergizi dan lezat untuk disantap.

Sementara, bagi manusia berperadaban rendah (barbar) hanya lebih tertarik untuk membeli "olah akal destruktif" sebagai materi yang dikonsumsinya. Mungkin packaging fitnah lebih menarik, mudah diterima, gurih untuk dikonsumsi, tak perlu modal dan energi. Sungguh, materi jualan murahan tapi banyak peminatnya. Sebab, mengkonsumsi sentimen tak perlu waktu dan kecerdasan tinggi. Hanya perlu keberanian, kebencian, kemunafikan, retorika murahan, dan siasat mencari "kambing hitam".

Sentimen dan jualan fitnah merupakan suguhan instan yang cepat dimakan dan dimuntahkan. Meski sentimen wujudnya merupakan makanan beracun, tapi ianya bagai narkoba. Jelas haram, berdampak negatif, dan berbahaya, namun "lambaian iblis" membuatnya memiliki daya tarik untuk dikonsumsi dan diminati. Akibatnya, jadilah peradaban yang "mengembang-biakkan" virus olah informasi untuk memunculkan sentimen negatif guna menutupi sentimen positif.

Isu sentimen negatif dan retorika murahan menjadi ruang gemerlap materi. Ia tak memerlukan kecerdasan dan kearifan. Hanya memerlu-kan kelihaian berorasi di ruang publik untuk menegakkan "benang kusut", tidak malu (muka tebal), dan telinga yang ditulikan. Dengan modal ini, sentimen negatif dan fitnah akan begitu mudah dikumandang-kan. Produksi yang demikian diperparah tatkala publikasi dilakukan secara masif. Akibatnya, informasi yang disampaikan seakan menjadi kebenaran. Sentimen negatif mampu menghancurkan masa depan dan peradaban secara instan. Namun anehnya, informasi yang benar justeru dianggap negatif dan tak pernah jadi rujukan. Andai ide cerdas dipublikasi, ianya memerlukan biaya yang besar.

Sementara, bagi manusia berperadaban rendah (barbar) hanya lebih tertarik untuk membeli "olah akal destruktif" sebagai materi yang dikonsumsinya. Mungkin packaging fitnah lebih menarik, mudah diterima, gurih untuk dikonsumsi, tak perlu modal dan energi. Sungguh, materi jualan murahan tapi banyak peminatnya. Sebab, mengkonsumsi sentimen tak perlu waktu dan kecerdasan tinggi. Hanya perlu keberanian, kebencian, kemunafikan, retorika murahan, dan siasat mencari "kambing hitam".

Sentimen dan jualan fitnah merupakan suguhan instan yang cepat dimakan dan dimuntahkan. Meski sentimen wujudnya merupakan makanan beracun, tapi ianya bagai narkoba. Jelas haram, berdampak negatif, dan berbahaya, namun "lambaian iblis" membuatnya memiliki daya tarik untuk dikonsumsi dan diminati. Akibatnya, jadilah peradaban yang "mengembang-biakkan" virus olah informasi untuk memunculkan sentimen negatif guna menutupi sentimen positif.

Isu sentimen negatif dan retorika murahan menjadi ruang gemerlap materi. Ia tak memerlukan kecerdasan dan kearifan. Hanya memerlu-kan kelihaian berorasi di ruang publik untuk menegakkan "benang kusut", tidak malu (muka tebal), dan telinga yang ditulikan. Dengan modal ini, sentimen negatif dan fitnah akan begitu mudah dikumandang-kan. Produksi yang demikian diperparah tatkala publikasi dilakukan secara masif. Akibatnya, informasi yang disampaikan seakan menjadi kebenaran. Sentimen negatif mampu menghancurkan masa depan dan peradaban secara instan. Namun anehnya, informasi yang benar justeru dianggap negatif dan tak pernah jadi rujukan. Andai ide cerdas dipublikasi, ianya memerlukan biaya yang besar.

Namun, bila "muzakarah intelektual" telah diblokir oleh kebodohan (kejahilan) dan dikerangkeng oleh pemegang "simbol ilmu (wan) tanpa ilmu", maka sisi kebenaran akan hancur berantakan. Bila hal ini terjadi, maka hanya akan menyuburkan olah ide tanpa fikir (akal) dan hasil pikir tanpa adab. Kondisi ini akan meluluhlantakan bangunan adab dan peradaban. Sikap ini hanya akan berakibat tumbuhnya tanaman liar berupa parasit sentimen antar sesama dan penjilat (munafik lidah bercabang) yang merobohkan kebenaran. Tumbuhan sentimen ini terkadang acapkali dibantu penyedia pupuk racun yang memanfaat-kan posisi, riuh rendah gemerincing pundi, membiarkan praktik intelektual tanpa moral, menyuburkan kezaliman, dan menghadirkan benih perpecahan atas perbedaan.

Bila varian parasit ini diberi "panggung", dipuja, dan dilindungi untuk mementaskan tipu muslihat, maka tumbuhan sentimen akan menjalar subur menghijau dengan serbuk bunga racun yang mematikan peradaban, persatuan, dan meluluhlantakkan martabat manusia. Untuk itu, sentimen hanya melahirkan fitnah dan peradaban "barbar". Anehnya, sifat barbar banyak dicari, menjanjikan pundi, dan janji posisi. Meski sifat ini menjijikan, tapi banyak yang menginginkan dan diminati.

Andai logika Rene Descartes digunakan, maka pertanda sosok hewan yang berwujud manusia. Sebab, akal ke-bijaksanaannya tak pernah digunakan.

Kedua, Berdoa merupakan munajat hamba pada Sang Khaliq. Doa bukan sebatas permintaan, tapi komunikasi rahasia penuh harap hamba dan Sang Pencipta. Untuk itu, Allah perintahkan hamba untuk berdoa pada-Nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu" (QS. al-Mukmin : 60).

Doa adalah senjata bagi hamba-Nya, apalagi yang sedang teraniya. Bagi hamba, doa merupakan media komunikasi dengan Sang Khaliq. Untuk itu, berdoa memerlukan kerahasiaan pengharapan. Berdoa merupakan ruang tanpa perdebatan. Ia hanya menghadirkan adab kepasrahan dan ruh penghambaan yang tulus. Untuk itu, doa memerlukan olah akal dan hati yang suci. Sebab, doa harus sejalan dengan olah akal, hati, dan prilaku agar mampu melaksanakan tugasnya sebagai 'abd  dan khalifah fi al-ardh. Perlu disadari, "panjat dan lambungkan doa setinggi langit dengan hati tertunduk ke bumi. Ringankan kaki melangkah, tanpa pernah menginjak rusak rumput bersemi". Sebab, "bila kepala tegak dan pongah, maka kaki menginjak bumi bak Fir'aun menghalalkan segala cara". Jangan pernah jadikan olah pikir sebatas stempel status dan doa (janji) sekadar upaya mempermainkan Allah. Sebab, pola pikir dan doa seperti ini akan membuatnya lupa bila memperoleh nikmat dan kuasa. Akibatnya, kata dan asesories kesalehan hanya sebatas upaya menutupi kejahilan agar leluasa melakukan berbagai kesalahan dan kezaliman. Seakan, semua keputusan dan semua yang diraih merupa-kan "keinginan Allah" yang turun dari langit. Padahal, semua prilaku merupakan rekayasa licik untuk menutupi kualitas diri bak selokan kotor, amis, dan bernajis. 

Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis

Hubungi Kami

Alamat:
No.5B, Jalan 3/70 Damai Point, Seksyen 3, 43650 Bandar Baru Bangi. Selangor

Telefon: +60 17-377 7732
Email: alfalahmadani2022 [@] gmail.com

Jumlah Pengunjung

040881
Hari ini: 61
Minggu Ini: 318
Bulan Ini: 5,163
Tahun Ini: 40,881
Tahun Lepas: 5,538
Image

Alfalahmadani.my merupakan sebuah portal yang bertanggungjawab untuk bertindak sebagai penampan bagi setiap tuduhan, fitnah, kekeliruan, ketidakfahaman dan kecelaruan yang berlegar di minda rakyat. Sama ada isu-isu yang timbul secara organik di media sosial, ataupun yang didorong sebagai naratif oleh pihak-pihak tertentu,

Alfalahmadani.my akan menjawab setiap permasalahan dengan pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Tentunya, kehadiran Alfalahmadani.my bukan berhasrat menyatakan kesempurnaan pemikiran, tetapi sebagai wahana untuk menuju kesempurnaan pengetahuan dalam konteks pemikiran semasa, dan kebijaksanaan yang mampu diusahakan.