PENGKHIANATAN ATAS UMAT ISLAM

Hari itu, hari Jum’at. Seharusnya menjadi hari yang baik bagi muslimin. Tepatnya tanggal 7 Shafar 656 H. Kota Baghdad, pusat peradaban dunia terbesar masa itu. Ibukota Khilafah Abbasiyyah yang telah 5 abad memakmurkan bumi ini dengan peradaban dan ilmu.

Hari Jum’at itu justru puncak kehancuran wilayah khilafah dan akhir dari keseluruhan kebesaran. Untuk selamanya. Hulaghu Khan pemimpin pasukan Mongolia hari itu datang masuk ke dalam istana Khilafah terakhir Abbasiyyah, Musta’shim billah. Dia datang beserta istrinya dan para pengawalnya. Seluruh elemen kekhilafahan telah lumpuh. Khalifah sudah menyerah. Hulaghu meminta Musta’shim menunjukkan semua simpanan kekayaan di istananya. Dengan sangat hina, Musta’shim menunjukkan semua kekayaannya dalam istana. Kemudian Hulaghu membagikan perhiasan dan kekayaan itu kepada istrinya dan para pengawal dekatnya.

Sudah satu minggu, Kota Baghdad dihancurkan dari berbagai sudutnya. Musibah kemanusiaan yang tidak mengenal satu kecap pun kata kasihan. Begitulah kekejaman pasukan Mongolia.

Tembok kota dihancurkan. Setiap yang datang dibunuh. Setiap yang menyerah pun dibunuh. Pembunuhan besar-besar itu disaksikan oleh Sungai Dijlah. 3 hari Sungai Dijlah berwarna merah darah. Juga jalanan Kota Baghdad. Banjir darah.

Anak-anak dan wanita memohon belas kasihan di bawah kuda-kuda pasukan Mongolia untuk dimaafkan dan agar tidak dibunuh, dengan al-Qur’an di tangan-tangan mereka. Tetapi kuda-kuda Mongol menginjak-injak semuanya. Diinjak-injak tanpa secuil pun rasa kasihan. Sebelum akhirnya pedang-pedang pun, mereka ayunkan kepada setiap anak dan wanita.

Mereka yang sakit terbaring di rumah sakit tidak luput merasakan kekejaman yang belum pernah disaksikan oleh kekejaman bangsa manapun. Tidak ada satupun yang selamat. Semuanya harus mengakhiri ajalnya di ujung pedang Mongolia.

Satu minggu itu, setidaknya 400.000 nyawa melayang. Termasuk khalifah Musta’shim dan seluruh anak serta kerabatnya.

Bukan hanya pembantaian muslimin. Peradaban yang dibangun berabad-abad, ilmu yang menerangi dunia juga ikut dihancurkan. Lagi-lagi Sungai Dijlah menjadi saksi bisu. Pasukan Mongolia menyeberang sungai Dijlah dengan menggunakan tumpukan buku. Kuda-kuda Mongol menginjak-injak buku-buku ilmu.

Masjid-masjid diruntuhkan. Rendah sekali syahwat Mongolia, yaitu mengambili pernik-pernik masjid yang terbuat dari emas di kubah-kubahnya. Istana-istana juga dihancurkan untuk dirampas semua kekayaan berupa harta benda dan perhiasan.

Kota dibakar. Gedung, masjid, perpustakaan, istana, rumah sakit. Kehancuran total.

Hulaghu Khan akhirnya menghentikan pembunuhan. Penghentian itu dikarenakan bau anyir darah dan bekas puing-puing penghancuran dan pembakaran menyebabkan polusi dan penyebaran wabah penyakit. Hulaghu mengkhawatirkan kesehatan pasukannya, sehingga dia memerintahkan penguburan mayat manusia dan binatang.

Dan Baghdad pun hancur lebur. Pusat kebesaran Islam itu. Ibukota Khilafah Abbasiyyah itu. Khilafah Abbasiyyah diakhiri dengan cara yang sangat mengiris-iris hati. Baghdad dihabisi dengan cara yang sangat mudah. Kebesaran itu runtuh dengan begitu sederhana. Tidak ada kota sebegitu mudah diruntuhkan, semudah Baghdad.

La haula wa quwwata illa billah…

Innalillah wa inna ilahi raji’un…

Seharusnya Baghad tidak runtuh. Semestinya Khilafah Abbasiyyah tidak hilang. Kalau tidak muncul pengkhianat besar di tubuh kekhilafahan. Kalau saja tidak ada pengkhianat umat.

Muayyaduddin Ibnul ‘Alqami. Nama pengkhianat yang hingga akhir zaman akan selalu disebut dalam sejarah Islam sebagai pengkhianat peradaban, pengkhianat umat. Ibnul ‘Alqami bukan sembarang orang. Dia adalah perdana menteri di kekhilafahan Abbasiyyah.

Sebelum pengkhianatan Ibnul ‘Alqami, sesungguhnya para amir wilayah sekitar Baghdad telah lebih dahulu menjadi pengkhianat umat. Mereka bersatu dan bersedia bahkan ada yang berangkat sendiri untuk membantu pasukan Mongolia menghancurkan muslimin sendiri.

Tetapi puncak semua pengkhianatan itu adalah tokoh terdekat dengan pusat. Di Kota Baghdad yang dikenal kuat. Ibnul ‘Alqami diam-diam membangun hubungan haram dengan Hulaghu. Pengkhianat umat itu menjual Baghdad dengan tukaran di antaranya adalah jabatan jika Hulaghu berhasil menguasai Baghdad. Rencana demi rencana jahat dilakukannya. Sementara khalifah asyik menikmati goyangan artis dan berpesta pora.

Begitulah. Dan sejarah pun mengulang dirinya. Andalus mempunyai kisah yang mirip. Karena memang sejarah selalu sama di zaman manapun.

Kota terakhir yang masih kuat berdiri saat seluruh kota-kota wilayah Andalus telah menyerah di tangan negara-negara Kristen adalah Granada. Kota itu masih sangat kuat bertahan, gagah dan terus membangun.

Tetapi akhirnya Granada pun menyerah. Khilafah Islamiyyah di Eropa selatan tutup hingga hari ini (semoga Allah memberi kita kesempatan untuk melihat kembalinya Eropa ke tangan muslimin – amin).

Dan sejarah terulang lagi. Granada runtuh karena pengkhianat peradaban ada dalam tubuh muslimin. Mereka bukan sembarang orang. Mereka adalah pemimpin muslimin, tetapi merangkap pengkhianat umat.

Tiga nama yang diabadikan sejarah hingga hari akhir nanti sebagai pengkhianat umat. Catatan itu tidak akan pernah bisa dihapus. Dua orang menteri: Yusuf bin Kamasyah dan Abul Qasim al-Malih, serta satu tokoh agama: al-Baqini.

Umat dijual. Negeri muslim digadaikan. Diserahkan kepada negara Kristen. Ditukar dengan sampah dunia.

Raja Fernando 3 dan Ratu Isabella memasang salib besar dari perak di pasang di atas Istana al-Hamra’ dan diumumkan bahwa hari itu adalah akhir dari kekuasaan muslim di Andalus.

Tahun 1499 M, masjid-masjid resmi ditutup.

Sesungguhnya ini bukan akhir dari perjalanan muslimin di Andalus. Perjuangan sekelompok mujahidin muslimin terus digelorakan, mencoba mengambil alih Granada. Perjuangan itu ada pasang surutnya.

Perjuangan itu bukan tidak ada hasilnya. Beberapa wilayah di sekitar Andalus sempat berhasil dikuasai muslimin.

Ibnu Abbu adalah pemimpin terakhir kelompok mujahidin yang terus dikejar-kejar oleh pasukan Kristen. Tetapi mereka tidak pernah berhasil menyentuh Ibnu Abbu.

Lagi, sejarah terulang. Pengkhianat internal penyebabnya. Ibnu Abbu syahid bukan di tangan pasukan Kristen. Tetapi dibunuh oleh seorang muslim yang bernama Syurais, yang anak dan istrinya ditawan oleh pasukan Kristen. Syurais dijanjikan bahwa anak istrinya akan dibebaskan jika ia berhasil membunuh Ibnu Abbu. Dan pengkhianat itupun melakukannya.

Ibnu Abbu telah syahid. Dan akhirnya semuanya terhenti. Semua perjuangan muslimin berakhir. Muslimin harus mati atau menjadi budak. Akhir seluruh perjalanan muslimin di Andalus.

Maha benar Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap Khawwan lagi Kafur.” (Qs. Al-Hajj: 38)

Khawwan adalah pengkhianat besar. Kafur adalah orang dengan kekafiran besar atau pengingkar nikmat.

Setidaknya ada 2 pelajaran besar dari ayat agung tersebut:

1. Hanya Allah yang menjaga jamaah orang-orang beriman. Bukti penjagaan Allah, dengan tidak menyelinapnya khawwan dan kafur. Jika telah hadir dua kelompok tersebut, berarti jamaah mukminin tersebut sudah ditinggal Allah. Sekaligus bukti bahwa Allah sudah tidak ridha, sehingga tidak lagi ada penjagaan-Nya.

2. Khawwan lebih dahulu disebut sebelum kafir. Dan selalu begitu. Para pengkhianat selalu menjadi mukaddimah untuk kehancuran jamaah orang-orang beriman yang berakhir di tangan orang-orang kafir.

Ibnul ‘Alqami, Yusuf bin Kamasyah, Abul Qasim al-Malih, al-Baqini, Syurais. Nama-nama para pengkhianat peradaban.

Nama-nama yang berbeza akan terus bermunculan sepanjang zaman. Hingga hari ini. Di tubuh muslimin. Para tokohnya sebagai pengkhianat peradaban! Sebagai pengkhianat umat!

Dan kini… Semua pun mengetahui siapa mereka… kejadian tragedi Syria, kerusuhan Mesir, menunjukkan hal itu dengan terang berderang…

Sumber: Era Muslim

MASYARAKAT UYGHUR: ANTARA IDENTITI DAN ASIMILASI BUDAYA CINA

BANGSA Uyghur merupakan satu kelompok etnik yang menetap di bahagian utara China, khususnya di wilayah Xinjiang, dan majoriti mereka beragama Islam. Meskipun berada di bawah kekuasaan Republik Rakyat China (People’s Republic of China, PRC), masyarakat Uyghur memiliki budaya yang amat berbeza daripada masyarakat Cina pada umumnya — malah lebih dekat dengan budaya Turki dan Islam di Asia Tengah. Dalam beberapa tahun kebelakangan ini, masyarakat Uyghur semakin mendapat perhatian dunia akibat dilema besar yang mereka hadapi — sama ada mengekalkan identiti unik mereka atau berasimilasi dengan budaya Cina. Oleh itu, artikel ini mengajak pembaca memahami realiti yang sedang menimpa masyarakat Uyghur di Xinjiang.

Dari segi sejarah, masyarakat Uyghur pada asalnya merupakan bangsa nomad yang kemudian menubuhkan kerajaan sendiri di wilayah Mongolia. Setelah kerajaan tersebut tumbang, mereka bermigrasi ke kawasan oasis di Lembah Tarim termasuk Turfan, Kucha, Kashgar dan Hotan — kawasan yang kini dikenali sebagai Xinjiang. Masyarakat Uyghur mula memeluk Islam pada abad ke-10 melalui pedagang Arab dan Parsi yang berdagang di sepanjang Jalan Sutera. Sejak itu, Islam menjadi teras identiti dan cara hidup utama mereka.

Pada era Dinasti Qing, kawasan yang didiami masyarakat Uyghur diserap masuk ke dalam kerajaan China. Hal ini menimbulkan ketegangan akibat perbezaan agama, budaya dan politik. Wilayah itu kemudian dinamakan “Xinjiang”, yang bermaksud wilayah baharu, sekali gus menjadikannya sebahagian daripada kerajaan China moden selepas berakhirnya Dinasti Qing. Kerajaan China berusaha menyatukan masyarakat Uyghur dengan budaya nasional Cina, namun dasar itu telah mencetuskan pelbagai konflik sosial dan politik yang berpanjangan.

Salah satu isu utama yang mendapat perhatian dunia ialah usaha asimilasi budaya dan agama terhadap masyarakat Uyghur. Laporan daripada pertubuhan antarabangsa seperti Amnesty International dan Human Rights Watch mendakwa wujudnya kawalan ketat terhadap amalan agama, penggunaan bahasa Uyghur, serta kebebasan sosial di Xinjiang. Banyak masjid ditutup, pengajian agama dihadkan, dan simbol Islam seperti tudung (hijab) serta janggut panjang sering dikaitkan dengan ekstremisme.

Selain itu, kerajaan China didakwa membina kem penempatan semula yang digambarkan sebagai kem latihan vokasional untuk memastikan masyarakat Uyghur mematuhi budaya nasional Cina. Walaupun Beijing mendakwa langkah itu bertujuan membanteras radikalisme dan mengukuhkan perpaduan nasional, tindakan tersebut mendapat kecaman meluas kerana dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.

Kini, masyarakat Uyghur berada dalam dilema. Jika mereka memilih untuk berasimilasi, kehidupan mungkin menjadi lebih mudah dalam struktur sosial China — namun sebagai gantinya, mereka akan kehilangan warisan Islam, bahasa dan tradisi yang diwarisi sejak berabad-abad lamanya. Sebaliknya, jika mereka bertegas mempertahankan identiti asal, mereka berisiko menghadapi penindasan, diskriminasi dan penafian hak. Keadaan ini diibaratkan seperti “ditelan mati emak, diluah mati bapak”, khususnya bagi generasi muda Uyghur yang diajar mencintai negara, tetapi dalam masa sama dipaksa menjauhi agama dan budaya sendiri.

Persoalan besar yang timbul ialah — di manakah suara pemimpin dunia Islam ketika saudara seagama ditindas? Malangnya, ramai pemimpin memilih berdiam diri atas alasan menjaga hubungan diplomatik dan kepentingan ekonomi. Walaupun begitu, masih terdapat badan bukan kerajaan (non-governmental organizations, NGO) yang lantang memperjuangkan keadilan bagi masyarakat Uyghur.

Bagi umat Islam, penderitaan Uyghur bukan sekadar isu politik, tetapi cerminan cabaran mempertahankan maruah dan kebebasan beragama dalam dunia moden. Islam sebagai agama yang syumul amat menekankan nilai keadilan dan ukhuwah. Rasulullah SAW sendiri memberikan kebebasan kepada penganut agama lain untuk mengamalkan kepercayaan mereka ketika memimpin di Madinah. Firman Allah SWT dalam Surah al-Hujurat ayat 10 bermaksud:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu.”

Ayat ini seharusnya menjadi panduan bagi umat Islam untuk saling peduli terhadap nasib saudara seagama tanpa mengira batas politik atau bangsa. Dalam konteks ini, sokongan terhadap masyarakat Uyghur tidak harus dilihat sebagai campur tangan politik, tetapi sebagai tanggungjawab moral mempertahankan nilai kemanusiaan sejagat.

Isu Uyghur mengingatkan kita bahawa dalam mengejar kemajuan dan kesatuan nasional, kita tidak boleh mengorbankan kepelbagaian budaya. Tindakan menghapuskan budaya di bawah nama asimilasi — atau cultural genocide — adalah zalim dan tidak berperikemanusiaan. Dunia seharusnya menghargai kepelbagaian yang menjadikan manusia unik dan harmoni.

Perjuangan Uyghur bukan simbol penentangan, tetapi lambang keteguhan jiwa mempertahankan maruah dan identiti. Di sebalik penindasan, wujud insan-insan yang hanya ingin hidup aman dengan identiti sendiri. Maka, tibalah masanya kita bertanya — sejauh manakah dunia ini benar-benar menghormati hak untuk menjadi diri sendiri?

Marilah kita menghargai kepelbagaian dan mempertahankan hak setiap bangsa untuk hidup dengan identiti mereka sendiri.

-Muhammad Zeriff bin Zul Amri ialah seorang Mahasiswa Jabatan Sejarah, Tamadun dan Pendidikan Islam,
Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya

NARATIF NUSANTARA: PERANAN ORANG-ORANG AGAMA DALAM KEMELUT POLITIK-EKONOMI-SOSIAL SEMASA

Keresahan politik, kebimbangan ekonomi dan kerapuhan sosial yang sedang melanda Tanah Air ketika ini meletakkan umat dalam keadaan tidak menentu serta hilang punca pertimbangan dan perjuangan kehidupan mereka. Orang-orang politik yang sangat diresapi oleh pendekatan Macheavellianisme ‘matlamat menghalalkan cara’, golongan peniaga dan pedagang yang kuat dipengaruhi dengan ketamakan Kapitalisme ‘memaksimumkan keuntungan selagi yang boleh’, dan masyarakat awam yang senang diperdaya oleh retorik dan propaganda Liberalisme dan Populisme tentang kebebasan, hak asasi manusia, penolakan terhadap otoriti dan tradisi, kesemuanya ini mengacu kepada resepi kehancuran kepada mana-mana umat termasuk kita di Tanah Air tercinta ini jika tidak sekarang mungkin dalam waktu terdekat ini.

Kemelut atau krisis politik-ekonomi-sosial umat yang parah di Tanah Air ini tidak mungkin boleh diselesaikan sekiranya orang-orang agama terus-menerus mempergiatkan program-program taranum al-Qur’an di kaca TV atau pun memperbanyakkan pusat-pusat tahfiz al-Qur’an di Tanah Air. Keindahan wahyu al-Qur’an memang terserlah melalui kemerduan bacaan para qurra’ atau kelebihan rahsia al-Qur’an memang dimiliki oleh para huffaz yang menghafalnya. Bagaimanapun adalah lebih utama untuk umat pada hari ini tua dan muda untuk memahami dan menghayati pandangan hidup/tasawwur/weltanschuung al-Qur’an itu sendiri tentang sifat-sifat akidah dan akhlak Qur’aniyyah yang tidak mungkin diperolehi hanya melalui taranum-kemerduan bacaan dan tahfiz-penghafalan ayat-ayat seperti yang kita saksikan pada ketika ini tanpa keupayaan/kompetensi analisis, penghuraian, pencernaan, sintesis dan sistemisasi kandungan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-harian.

Begitu juga sekiranya orang-orang agama asyik bertelagah dan berbalah tentang kesahihah hadis Rasulullah SAW dan hukum fekah antara Mazhab. Asyik membangkitkan tentang isu-isu tentang yasin, tahlil, qunut dan talqin, tentang cara solat nabi, tentang bidaah, tentang hadis palsu dan seumpamanya. Maka ia bukan sahaja tidak akan menyelesaikan kemelut atau krisis parah politik, ekonomi dan sosial umat, malah orang-orang agama menambahkan pula kemelut dan krisis baru keagamaan dalam kehidupan umat yang sedia resah, bimbang dan rapuh dan kini menjadi keliru dan tidak pasti tentang kebenaran ajaran-ajaran agama mereka sendiri. Tiada sesiapa pun dikalangan orang Islam yang faham agamanya akan mengenepikan keperluan kepada ketelitian dalam hadis/Sunnah dan fekah, tetapi mengheret malah lebih bahaya menghasut umat kepada persengketaan khilafiyyah dan furu’iyyah ini hanya akan menjauhkan umat dari memupuk perasaan Mahabbah Rasulullah SAW juga Kecintaan sesama saudara seIslam yang sebenarnya menjadi tujuan utama dari hadis/sunnah dan fekah dan ubudiyyah/peribadatan itu sendiri.

Orang-orang agama harus sedar dan insaf bahawa Islam adalah Agama Peradaban untuk umat manusia bukan hanya untuk umat Islam semata-mata (Rahmatan lil Alamin). Islam adalah Agama Keilmuan, Kerohanian dan Ketamadunan yang tidak mungkin boleh dibina dengan sekadar melalui komponen-komponen taranum, tahfiz, hadis/Sunnah dan fekah yang sempit semata-mata. Kefahaman dan penghayatan al-Qur’an dan al-Hadis/Sunnah yang lebih menyeluruh dan bersepadu merentas disiplin yang telah dibina dalam tradisi kesarjanaan Islam sejak dari Zaman Rasulullah SAW melebihi 1400 tahun ini perlulah digarap dengan penuh amanah oleh orang-orang agama.

Keluasan dan kedalaman kefahaman al-Qur’an dan al-Hadis/Sunnah tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam dalam membina pandangan hidup/tasawwur/weltanschauung umat tidak boleh disempitkan oleh orang-orang agama semasa hanya kepada persoalan taranum/tahfiz/hadis/fekah semata-mata. Ketidakupayaan atau ketidakmampuan orang-orang agama semasa untuk mengapresiasi atau memahami khazanah dan warisan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam yang unggul dan kompleks itu tidak sama sekali membolehkan orang-orang agama mengambil pendekatan short-cut atau jalan-pintas atau simplistik bagi menutup kelemahan dan kekurangan mereka. Malah orang-orang agama harus akur banyak perkara lagi yang mereka belum ketahui atau yang perlu mereka pelajari dari keluasan dan kedalaman tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam untuk dipersembahkan bukan hanya kepada umat Islam malah kepada umat manusia keseluruhannya.

Di saat banyaknya  negara-negara kecil dan besar sedang berkerja-keras memposisikan kedudukan serta membina kekuatan masing-masing dalam geo-politik dunia pasca-kebenaran juga fasa akhir Kapitalisme ini, Negara kita Malaysia sedang bergelumang dengan kemelut/krisis politik-ekonomi-sosial yang setakat ini masih belum nampak cahaya dipenghujung terowongnya. Oleh kerana kemelut/krisis politik-ekonomi-sosial Tanah Air ini begitu besar dan mempengaruhi segenap lapisan rakyat tua dan muda, kaya dan miskin, desa dan bandar serta melibatkan pelbagai kepentingan politik Macheavellianisme, ekonomi Kapitalisme dan sosial Populisme dan Liberalisme, maka sudah semestinya tidak wajar bagi orang-orang agama juga turut menambahkan lagi kekusutan kemelut ini dengan pertelingkahan dan perbalahan keagamaan pula. Sebaliknya sangatlah perlu bagi orang-orang agama bermuhasabah dan merenung kembali bagaimana khazanah dan warisan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam boleh menjadi sumber kekuatan baru umat untuk mereka keluar dari kemelut/krisis politik-ekonomi-sosial ini. 

Orang-orang agama harus menyedarkan umat bahawa kita kini menghadapi kehidupan Abad ke 21 yang sangat mencabar dan rumit. Cabaran dan kerumitan ini bukan sahaja bersifat nasional malah global malah lebih tepat cabaran yang bersifat Peradaban yang sudah semestinya bersifat Pemikiran. Orang-orang agama tidak boleh menyangka dengan pengkhususan mereka dalam satu-satu bidang agama akan dapat menyelesaikan kemelut umat apatahlagi membina Peradaban Islam yang baru. Umat juga tidak boleh diberikan gambaran yang salah atau tidak berasaskan kenyataan dalam sejarah pembinaan Peradaban Islam dengan retorik dan angan-angan kosong tentang kekuatan Islam. Peradaban Barat menguasai dunia dengan sistem ilmu dan organisasi mereka yang menyeluruh dan meluas mencakupi pelbagai bidang dan disiplin keilmuan. Retorik kejatuhan Peradaban Barat telah lebih 100 tahun dilaung-laung oleh orang-orang agama kepada umat tetapi sehingga kini Barat masih tetap menguasai umat Islam. Sedangkan umat Islam masih terus menerus digulati oleh orang-orang agama tentang permasalahan hadis dan fekah.

Selagi orang-orang agama tidak mahu keluar dari keselesaan kepompong bidang pengkhususan mereka dan meneroka sifat dan tabi’at Islam sebagai Agama Peradaban dengan kekayaan keilmuan, kerohanian dan ketamadunan untuk ditawarkan kepada seluruh umat manusia; Selagi orang-orang agama tidak mahu mengambil tahu perkembangan pelbagai ilmu-ilmu Barat yang sejak 300 tahun sehingga kini yang mempengaruhi pemikiran dan tindak-tanduk manusia termasuk umat Islam dengan faham Machiavellianisme, Kapitalisme, Populisme dan Liberalismenya politik, ekonomi dan sosial; Selagi orang-orang agama tidak mahu mengusahakan perubahan sikap mereka terhadap tajdid/pembaharuan atau Islah/Penambahbaikan yang berakar-umbi kepada 1400 tahun lebih tradisi mereka bukan dengan memutus/mencantas secara selektif tradisi mereka seperti yang dibuat oleh kelompok modenis dan salafiyyah; maka selagi itulah Agenda Nasional dan Global yang didambakan oleh umat ketika ini hanya sekadar menjadi impian dan khayalan semata-mata.

SARAH LIHAT KEINDAHAN ISLAM DI MALAYSIA

Sukar untuk orang percaya bahawa wanita cantik berkulit putih ini beragama Islam. Mereka tertanya-tanya, apakah yang menyebabkan mat saleh Australia ini boleh memeluk agama yang penuh dengan imej keganasan. Istilah kotor Jihad, IS, 9/11, perempuan berselubung hitam dari kepala hingga kaki, tidak dibenarkan ke sekolah, dilarang memandu, tidak boleh mengundi, semua itu imej yang hanya ada pada Islam. Tapi kenapa wanita ini tetap memilih Islam sebagai agama barunya? Begini cerita wanita berkenaan, Sarah Price…

Benar, memang ramai yang datang kepada saya dan bertanya, “Kenapa awak peluk agama Islam?” Ada yang menohmah konon saya lakukannya kerana lelaki. Tidak. Saya tidak peluk agama ini kerana lelaki.

Pun begitu, saya sangat suka menjawab pertanyaan ini, kerana dengan cara itu saya dapat menjelaskan dan memberikan jawapannya dengan lebih terperinci.Kepada merekaini ingin saya beritahu, saya memeluk Islam kerana tiga faktor. Inilah cerita saya yang berlangsung selama kira-kira dua tahun, hinggalah saya mengucap dua kalimah syahadah.

Untuk pengatahuan anda, Malaysia adalah tempat mula saya mengenali Islam. Semasa melanjutkan pengajian di peringkat Sarjana Muda Kewartawanan di Universiti Monash, saya memutuskan menyertai satu program pertukaran pelajar ke negara ini. Program itu berlangsung dari Jun hingga Disember 2013 dan saya ditempatkan di bahagian editorial Yahoo! Malaysia.

Waktu itu saya langsung tidak terfikir bahawa di Malaysia nanti saya akan bertemu dengan sesuatu yang sangat asing, yang tidak pernahlangsung saya temui sepanjang hidup.

Saya lahir dan membesar di Gippland, sebuah bandar kecil di New South Wales, Australia. Di sana, saya langsung tidak tahu apa-apa tentang Islam. Seingat saya, saya tidak pernah bertemu dengan seorang Muslim.

Apabila disebut Islam dan Muslim, yang tergambar di fikiran hanya satu iaitu penganutnya di Asia Barat yang memakai pakaian labuh berwarna hitam. Mereka hidup jauh daripada tamadun. Wanita-wanita ini ditekan dan ditindas.Mereka tidak boleh ke mana-mana tanpa ditemani suami. Mereka tidak dibenarkan bekerja dan sepanjang masa hanya memakai pakaian berwarna hitam.

Namun saya terkejut, apabila sampai di Malaysia, ternyata apa yang saya bayangkan itu sebenarnya silap. Saya sebaliknya menjadi terpegun melihat kecantikan wanita Muslim di Asia Tenggara yang memakai pakaian serta hijab berwarna-warni.

Di negara ini, saya berkenalan dan seterusnya bersahabat dengan ramai gadis-gadis yang belajar di universiti dan mempunyai kerjaya yang baik. Ada yang memakai hijab, ada yang tidak. Mereka ini wanita-wanita bijak yang sayangkan agama mereka. Ini semua membuatkan saya berasa sangat ingin mengenali Islam dengan lebih dekat.

Kebetulan saya mengambil jurusan kewartawanan. Apabila melakukan tugasan dan menulis artikel-artikel berkaitan Islam, semakin banyak keindahan agama itu yang saya temui. Secara tidak langsung pengetahuan saya berkaitan Islam juga semakin berkembang dan mendalam.

Dari situ barulah saya tahu bahawa wanita Islam bukannya ditindas, sebaliknya mereka mempunyai hak yang sangat banyak. Mereka diberikan hak yang diperakui oleh undang-undang dalam hal rumahtangga, pemilikan harta pusaka, kewangan, perceraian, memilih bakal suami, perkahwinan dan sebagainya, yang semua ini dinyatakan dengan jelas di dalam al-Quran dan hadis, lebih seribu tahun sebelum wanita Barat menikmatinya!

Kali pertama menjejakkan kaki ke masjid, perasaan saya menjadi cukup tenang dan damai. Alunan azan yang lembut mendayu begitu menusuk ke jiwa, suatu perasaan yang tidak pernah saya rasai sepanjang hidup saya. Pertama kali bersujud mengadap ke arah kiblat, saya terasa seperti berada di rumah sendiri.

Oh… jangan keliru, ketika itu saya belum memeluk Islam. Saya hanya melakukannya lebih kurang setahun kemudian, tetapi bukan di Malaysia. Malaysia adalah tempat yang memperkenalkan saya terhadap keindahan agama tersebut dan konsep keesaan Tuhan.

Kenapa saya masih tidak mengucap syahadah? Sebab saya adalah seorang penganut Kristian yang patuh. Kristian adalah panduan hidup saya, dan jangan terkejut kalau saya katakan, tanpanya tidak mungkin saya menjadi seorang Muslim. Malah, kecintaan kepada Nabi Isa merupakan salah satu sebab utama yang membawa saya kepada Islam.

Ironi, bukan? Biar saya jelaskan. Bagi saya, Kristian adalah agama yang sangat hampir dengan Islam, baik dari segi teologi mahupun sejarah. Bagaimanapun terdapat banyak salah tanggapan terhadap agama itu. 

Islam rupa-rupanya tidak memusuhi penganut agama lain dan ingin menzaliminya. Sebagai contoh, Nabi Muhammad sa.w. pernah menulis surat bagaimana umat Islam patut melayan orang-orang Kristian. Kata baginda, kita perlu melayan orang Kristian dengan rasa hormat, sekalipun lelaki Islam itu berkahwin dengan wanita Kristian, si isteri tidak boleh disekat dan dihalang daripada menunaikan tanggung jawab kepada agamanya. Islam juga mengkategorikan penganut Kristian dan Yahudi yang benar-benar mengikuti ajaran kitab yang diturunkan kepada kaum mereka, sebagai ahli kitab. 

Saya juga terkejut kerana agama Islam turut mempercayai Nabi Isa. Malah nama Nabi Isa lebih banyak kali disebut di dalam al-Quran berbanding Nabi Muhammad s.a.w. Selain itu, Islam percaya kepada kesucian Mariam yang merupakan ibu kepada Nabi Isa. Ringkasnya, Nabi Isa adalah tokoh yang sangat penting dan kita tidak boleh menjadi Muslim tanpa mempercayai kehidupan serta kerasulan baginda.

Perbezaan antara Islam dengan Kristian adalah kerana Islam mempercayai Nabi Isa adalah rasul, bukannya tuhan yang wajib disembah. Dia bukan anak Tuhan, tetapi manusia biasa seperti kita. Islam mengajar kan keesaan Tuhan, hanya Dia satu-satunya yang patut disembah, manakala Nabi Isa adalah rasul yang menyampaikan ajaran-Nya.

Saya sukakan setiap aspek yang ada di dalam agama lama saya. Saya sukakan konsep kesabaran, kasih sayang, keprihatinan dan semua nilai-nilai baik yang perlu kita amalkan. Ia sangat menarik dan gereja-gereja begitu aktif menjalankan aktiviti berkaitan konsep itu untuk manfaat masyarakat sekeliling.

Selepas program pertukaran pelajar tamat pada Disember 2013, saya tinggalkan Malaysia dan kembali ke Australia. Namun, apabila berada di kampung halaman sendiri, saya berasa suatu kehilangan yang amat sangat.

Saya mula membuat kajian terhadap perkara-perkara pokok dan yang menjadi asas kepada agama Kristian. Saya kaji apa yang diajar oleh St. Paul, apa yang dirumuskan oleh para pengkaji sejarah serta pendeta selepas kematian Nabi Isa. Saya baca kembali setiap helaian kitab Injil.

Saya kaji juga apa yang yang dikeluarkan oleh para pendeta ini daripada Injil, apa yang dimasukkan kemudiannya, percanggahannya, juga kebenaran yang terkandung di dalam kitab itu. Semuanya saya ambil kira. Apa yang saya temui pada peringkat itu ialah terdapat banyak persamaan antara al-Quran dan Injil.

Saya dengar perdebatan antara tokoh-tokoh terkenal Kristian dan Islam, yang mana mereka ini merupakan pengkaji hebat kedua-dua kitab berkenaan. Bagaimanapun, saya dapati, setiap kali diadakan perdebatan, al-Quran memberikan saya jawapan yang lebih meyakinkan. Keyakinan saya kepada Islam semakin teguh.

Pun begitu, sekalipun sudah meyakini akan kebenaran yang terdapat di dalam Islam, saya berasa terlalu sukar untuk meninggalkan agama lama saya. Seperti yang saya katakan, agama merupakan perkara yang sangat penting dalam hidup saya dan saya mahu benar-benar pasti bahawa saya hanya akan memeluk Islam dengan sepenuh hati bersama alasan yang betul-betul sahih.

Memeluk Islam bermakna saya perlu melaksanakan tanggung jawab yang diwajibkan ke atas umat-Nya, seperti solatlima kali sehari, menderma, memakai pakaian yang menutup aurat dan berhenti daripada meminum minuman keras.

Inilah perubahan serta keputusanbesar yang perlu saya pilih. Ia menuntut komitmen dan tekad yang betul-betul jitu. Hari berlalu, semakin saya enggan meninggalkan Kristian, semakin saya rasa bahawa saya perlu menurut kata hati saya yang tidak dapat lagi menafikanakan kebenaran hakiki yang terdapat di dalam Islam.

Dan akhirnya saya berasakan bahawa memeluk Islam bukanlah perubahan drastik daripada Kristian, sebaliknya ia akan menyempurkan kepercayaan saya itu. Ya, Islam adalah agama sempurna dan menyempurnakan.

Maksud saya, misalnya, Kristian mengajar saya agar mencintai Tuhan. Ia mengajar saya tentang kemanusiaan, kasih sayang, prihatin kepada nasib orang di sekeliling kita, tentang Nabi Isa. Semua itu bukan saja ada, malah amat ditekankan dalam ajaran Islam. Sebab itu saya katakan, saya tidak akan mengucap syahadah dan jadi diri saya yang ada pada hari ini kalau saya tidak pernah menganut agama Kristian.

Perkara paling saya suka tentang kewartawanan ialah kerjaya itu memberi ruang kepada pengamalnya untuk mengubah dunia. Kewartawanan membolehkn kita memberi peluang kepada masyarakat untuk membuat pilihan, belajar tentang manusia dan kemanusiaan serta dunia di sekeliling ita. Kerjaya itu juga membuka jalan untuk saya belajar tentang Islam.

Di Malaysia saya berkesempatan bertemu dan menemu bual pelbagai pelbagai golongan masyarakat, termasuk tokoh-tokoh gerakan kewanitaan. Mereka ini bijak, mempunyai fikiran yang sederhana tetapi progresif dan menghormati semua golongan masyarakat. Mereka mengajar saya akan pengertian `Satu manusia yang hidup di atas bumi yang sama.’

Walaupun kita berbeza pegangan politik, warna kulit, agama, budaya dan geografi, tetapi kita mempunyai darah yang sama dan bernafas dengan udara yang sama.

Namun menjadi seorang saudara baru bukan semudah yang disangka. Saya melaluinya serta mempelajarinya setiap hari. Orang disekeliling saya menghakimi saya, termasuk yang beragama Islam sendiri. Semua ini benar-benar menguji kesabaran saya, malah sesetengahnya melangkaui tahap yang dapat saya bayangkan.

Tapi mereka kata, untuk menuju kebenaran, kita pasti akandiuji. Benarlah, tidak kira bagaimana besar dan sukarnya ujian yang terpaksa dihadapi, ia juga membawa ketenangan kepada hati dan hidup saya. Ini semua membuatkan saya berasa gembira, menangis, dan bertanya tentang pelbagai perkara berkaitan dengan masyarakat dan kehidupan ini.

Semua ini menjadikan saya menjadi manusia yang redha dan berserah diri kepada Allah s.w.t.. Melalui Islam, tidak kira apa yang saya tempuhi, saya sentiasa berasakan bahawa saya tidak pernah bersendirian. Inilah yang saya rasakan setiap kali saya menunaikan solat kepada-Nya. Benarlah seperti yang difirmankan oleh Allah s.w.t.,“…setiap kesusahan dan ujian itu pasti ada kesenangan”. - (Al-Inshirah 94: 6)

Islam benar-benar memberikan saya kedamaian dan kebahagiaan. Apabila berdepan dengan ujian atau didatangi tohmahan, saya ambil al-Quran dan membacanya. Ia adalah kitab yang menjadi panduan hidup saya. Di dalam al-Quran tidak terdapat ayat yang mengajar umatnya untuk bergaduh, membunuh, menyeksa dan menzalimi manusia lain. 

(SARAH PRICE, 23,kini sedang melanjutkan pengajiannya di peringkat Sarjana Kewartawanan di Universiti Monash, Australia).

Cerita Sarah Price ini sepatutnya menyedarkan kita, betapa tanahair yang tercinta ini, yang sering diperlekehkan dan dihina oleh golongan-golongan tertentu yang berfikiran ekstrem, sebenarnya memaparkan wajah keindahan Islam dengan caranya yang tersendiri.

Selain Sarah Price, sebenarnya ramai lagi saudara baru dari luar negara yang tertarik dengan Islam selepas melihat keharmonian hidup masyarakat berbilang bangsa dan di negara ini. Mereka tidak dapat melihat fanatisme dan penindasan, seperti yang dimomok-mokkan oleh media Barat, sebaliknya mendapati keindahan Islam itu terpancar dalam kesederhanaan yang menjadi amalan warganya.

Pertahankanlah apa yang kita ada. Jangan sampai keindahan dan keharmonian yang kita nikmati di negara tercinta ini hancur, kelak imej agama akan tercemar dan orang seperti Sarah Price akan membenci Islam.

NARATIF NUSANTARA: MENGAPA KEMBALI KEPADA KEKUATAN TRADISI KEILMUAN, KEROHANIAN DAN KETAMADUNAN ISLAM?

Ada yang menyangka kekuatan umat Islam boleh dibina melalui kekuatan ketenteraan. Negara-negara orang Arab yang kaya-raya membeli bilionan senjata dan peralatan ketenteraan dari Barat tetapi masih tidak mampu untuk mengalahkan atau setidak-tidaknya membendung keganasan dan kezaliman Regim Zionis Israel. Ada juga yang beranggapan kekuatan umat Islam boleh dibangunkan dengan kekuatan ekonomi. Justeru Negara-negara umat Islam juga membangunkan kekuatan ekonomi tetapi obsesi terhadap pembangunan ekonomi kebendaan ini menjarakkan lagi jurang antara sikaya dan simiskin sesama mereka dan melahirkan umat materialistik yang bukan kepalang. Ada juga yang berfikir kekuatan umat Islam boleh dibentuk berdasarkan kekuatan politik. Lalu berlumba-lumbalah parti dan politikus Islam di sana-sini dunia umat Islam mencanangkan idea Politik Islam dengan Negaranya, Shariahnya dan Hududnya tetapi berkesudahan dengan perbalahan dan pertelingkahan sesama mereka yang akhirnya sekadar menguntungkan musuh-musuh Islam.

Umat Islam harus disedarkan sekadar membina kekuatan ketenteraan, ekonomi dan politik tanpa berpaksikan kepada kefahaman dan penghayatan yang benar lagi menyeluruh terhadap ketauhidan dan makrifatullah juga kenabian dan mahabbah al-Rasul sepertimana yang diperhalusi dan dimanifestasi oleh tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam yang panjang, kekuatan dan kemenangan yang hakiki untuk umat Islam tidak mungkin tercapai dalam menghadapi cabaran kehidupan mereka. Islam adalah sekaligus Agama, Kehidupan dan Peradaban yang berpaksikan kepada Al-Risalah atau Perutusan atau Mesej. Islam adalah Agama bukan sekadar Budaya, Islam adalah Kehidupan bukan sekadar Ibadat Khusus, dan Islam adalah Peradaban bukan sekadar Nukilan Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Sunnah/Hadis Nabi SAW. Kefahaman dan keyakinan terhadap Rukun Iman yang 6 jika diteliti dan dihayati dengan sempurna menyediakan visi dan misi perjuangan umat dalam menempuhi perjalanan kehidupan sebelum kembali kepada Maha Pencipta mereka akhirnya.

Kekuatan ketenteraan, ekonomi dan politik meskipun tidak dinafikan kepentingan dan keperluan mereka tidak lebih dari sekadar kekuatan fizikal atau jasmaniah. Sudah barang tentu kekuatan ketenteraan, ekonomi dan politik itu mustahak bagi menegakkan agama, kehidupan dan peradaban Islam. Bagaimanapun kekuatan ketenteraan, ekonomi dan politik yang tidak dipaksikan atau ditunjangi dengan kekuatan keilmuan, kerohanian dan ketamadunan yang bersifat metafizikal, batiniyyah atau maknawiyyah tidak akan kekal lama dan rapuh sifatnya terutama bila berdepan dengan cabaran-cabaran yang besar. Sebab itulah Baginda Rasulullah SAW selama 13 tahun pertama Islam di Mekah menumpukan dan menekankan sepenuhnya kepada pembinaan kekuatan keimanan, ketauhidan, akidah, visi dan misi kehidupan dikalangan para sahabat Baginda sehinggalah mereka benar-benar menjadi insan-insan yang kental iman dan akidah mereka dalam menghadapi segala ujian dalam menjalani kehidupan beragama mereka. Bahkan lebih penting dari itu Baginda SAW dapat melahirkan insan-insan yang sangat jelas visi dan misi kehidupan dan perjuangan mereka.

Justeru kesedaran dan keinsafan untuk merujuk, menggali dan mengembalikan kekuatan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam adalah pra-syarat atau perkara pokok yang mesti diterima sekiranya umat Islam terutamanya para sarjana mereka benar-benar ingin melakukan islah/pembaikan atau tajdid/pembaharuan terhadap agama ini. Kita menyaksikan pada Abad ke 20 betapa ketidakupayaan golongan modenis dan salafiyyah menghargai dan memanfaatkan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam menjadikan usaha-usaha islah dan tajdid mereka buntu dan berakhir dengan kegagalan dan kekecewaan. Golongan modenis-rasionalis yang banyak mendapat pengaruh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rashid Rida akhirnya memunculkan golongan-golongan neo-modenis yang berfikiran liberal yang melampau. Begitu juga golongan salafiyyah yang terbit di Semenanjung Arab akhirnya melahirkan golongan-golongan pseudo-salafi yang puritan dan literal sehingga menerbitkan keganasan seperti kumpulan salafi-jihadi atau salafi-takfiri. 

Gesaan untuk kembali kepada kekuatan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam bukan bermakna kita menjadi nostalgik atau memuja-muja pencapaian silam seperti yang sering dimomokkan oleh golongan modenis. Begitu juga kembali kepada kekuatan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam bukan bererti kita menolak untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah/Al-Hadis sepertimana yang didakwa oleh golongan salafiyyah. Hakikatnya golongan modenis gagal membina tradisi baru keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam dengan menggunakan akal-rasional-sekular mereka begitu juga golongan salafiyyah gagal membina tradisi baru keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam dengan mengunakan nas-nas Al-Quran dan Al-Sunnah/Hadis semata-mata. Kedua-dua golongan modenis dan salafiyyah ini yang berbeda titik-tolak permulaan mereka dalam banyak hal sepakat pada menolak, memperlekeh dan menjauhkan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam dalam dunia kehidupan umat.

Sekurangnya tiga atau empat tradisi besar keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam yang perlu diketengahkan kembali kepangkuan umat dalam kehidupan masakini. Tradisi keilmuan yang mustahak termasuklah tradisi Kalam/Usuluddin dari kesarjanaan Imam Al-Ash’ari dan Al-Maturidi, Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwayni, Al-Ghazzali, Al-Taftazani, Al-Sanusi dan lain-lain. Begitu juga tradisi usul-fekah/fekah/mazhab dari kesarjanaan 4 Imam besar Mazhab, Abu Hanifah, Malik, Al-Syafie dan Ahmad Ibn Hanbal dan para Imam pengembang 4 Mazhab ini. Tradisi kerohanian/Tasawuf/Tarikat dari kesarjanaan Imam Junayd, Al-Qusyairi, Al-Ghazzali, Ibn Arabi, Jalaluddin al-Rumi, Imam Rabbani dan lainl-lain lagi. Dalam tradisi Ketamadunan meliputi dimensi pemikiran dan falsafah dari kesarjanaan Ibn Sina, Al-Farabi, Ibn Khaldun, Al-Biruni dan ramai lagi. Ini bagaimanapun adalah sekadar sebahagian dari aliran-aliran utama dan tokoh-tokoh sarjana penting dalam tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam yang berusia lebih 1000 tahun yang dalam banyak hal digelapkan oleh gelombang aktiviti golongan modenis dan salafiyyah pada Abad ke 20 yang lalu.

Umat Islam Abad ke 21 khususnya generasi muda mestilah mula mengorak langkah bagi meneroka, menggali dan mengembalikan kekuatan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam yang unggul ini. Inilah aset penting dari khazanah dan warisan Peradaban Islam untuk umat manusia khususnya umat Islam sendiri. Kekuatan ketenteraan, ekonomi dan politik tanpa disertai atau didasari dengan kekuatan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan tidak mungkin membolehkan umat dan negara Islam menandingi kekuatan Peradaban Barat yang menguasai kita sejak lebih 300 tahun yang lalu. Tidak pernahkah umat dan sarjana Islam semasa memikirkan bahawa kita telah membina kekuatan lebih 1000 tahun dahulu yang sebenarnya lebih unggul malah diguna-pakai oleh Peradaban Barat kemudian. Masakan kekuatan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan berusia lebih 1000 tahun tidak boleh menandingi kekuatan yang baru berusia 300 tahun dan sedang mengalami permasalahan. Tidakkah mungkin kekuatan tradisi keilmuan, kerohanian dan ketamadunan Islam menjadi penawar bagi kemelut Peradaban Barat dan Kemanusiaan semasa?

Hubungi Kami

Alamat:
No.5B, Jalan 3/70 Damai Point, Seksyen 3, 43650 Bandar Baru Bangi. Selangor

Telefon: +60 17-377 7732
Email: alfalahmadani2022 [@] gmail.com

Jumlah Pengunjung

040874
Hari ini: 54
Minggu Ini: 311
Bulan Ini: 5,156
Tahun Ini: 40,874
Tahun Lepas: 5,538
Image

Alfalahmadani.my merupakan sebuah portal yang bertanggungjawab untuk bertindak sebagai penampan bagi setiap tuduhan, fitnah, kekeliruan, ketidakfahaman dan kecelaruan yang berlegar di minda rakyat. Sama ada isu-isu yang timbul secara organik di media sosial, ataupun yang didorong sebagai naratif oleh pihak-pihak tertentu,

Alfalahmadani.my akan menjawab setiap permasalahan dengan pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Tentunya, kehadiran Alfalahmadani.my bukan berhasrat menyatakan kesempurnaan pemikiran, tetapi sebagai wahana untuk menuju kesempurnaan pengetahuan dalam konteks pemikiran semasa, dan kebijaksanaan yang mampu diusahakan.