KIAMAT SUDAH HAMPIR?

Kiamat dalam kepercayaan dan sistem akidah umat Islam pasti akan terjadi. Namun demikian, seringkali kita tertanya-tanya bila kiamat akan berlaku. Sepertimana beberapa perkara lain seperti jodoh, rizqi dan kematian yang merupakan wilayah ‘misteri’ dan tiada siapa yang mengetahui melainkan Allah, begitu juga dengan kiamat. Sebagai zat yang Maha Mengetahui dan Berkuasa di atas segala-galanya, kiamat merupakan hak ‘preogratif’ Allah untuk menentukan kiamat yang tiada siapa boleh mencabar dan mempertikainya. Meskipun dalam banyak hadis diberi gambaran mengenai tanda-tanda baik yang bersifat spesifik mahupun yang umum mengenai kedatangan hari pengakhiran itu, namun hanya Allah jualah satu-satunya kuasa yang menentukan nasib kiamat bila akan terjadi. Sebagai seorang muslim, kita hanya wajib mengimani ketentuan itu.

Tiada siapa mengetahui bila kiamat akan berlaku. Malaikat Jibril pernah datang  berupa manusia, lalu bertanya Nabi SAW bila kiamat akan berlaku?  Nabi bersabda:  Sebenarnya orang bertanya itu lebih tahu dari orang yang ditanya. Bagaimanapun saya boleh terangkan tanda-tandanya.  Jibril bertanya:  Apakah tanda-tanda kiamat: Antaranya:

-         Apabila hamba melahirkan tuan masnya (anak hamba menjadi        pemerintah).

-         Apabila orang yang dahulunya papa kedana bermegah dengan bangunan-bangunan tinggi (Kondo?)

Setelah soal jawab selesai dan beredar dari majlis itu, Nabi memberitahu sahabat-sahabat yang belum mengenalinya “Orang tadi sebenarnya Jibril, dia datang mengajar agama kepada kamu”.  Nabi ada menyatakan juga tanda-tanda kecil Kiamat, antaranya:  

1.                 Banyak / berbagai-bagai fitnah berlaku.

2.                 Kelahiran nabi-nabi palsu / mengaku jadi Nabi

3.                 Banyak berlaku kejadian membunuh manusia

4.                 Berbagai-bagai amanah dibocorkan /disia-siakan.

5.                 Pendedahan aurat di kalangan wanita

6.                 Ramai golongan peniaga.

7.                 Persaksian palsu.

8.                 Ramai orang bersifat bakhil/kedekut

9.                 Pelacuran bermaharajalela.

10.             Orang fasik jadi pemimpin

 Kemunculan Nabi Isa, Dajjal dan Yakjuj Makjuj, Dabbatul Ardhu, Imam Mahdi termasuk antara tanda-tanda kiamat besar dan akan muncul sebelum berlakunya kiamat besar.

Al-Qur`an dan hadis-hadis sahih tidak memperincikan bagaimana dan di mana kemunculan mereka nanti,. Oleh itu, umat Islam hendaklah mempercayai ada dan akan berlaku perkara-perkara ini sebelum Kiamat. Justeru pada asasnya dalil-dalil tersebut tidak boleh dianggap khurafat atau dongeng-dongeng yang tidak  berasas.

Allah sengaja tidak memperincikan dalil-dalil ini kerana tiada keperluan padanya.  Ada kemungkinan manusia akan mencari jalan  untuk mempertikaikan kebenaran hakikat dalil-dalil itu, sedangkan jika dinyatakan bagaimana dan bila kelahirannya, iman manusia tidak bertambah dan berkurang kerana dalil-dalil itu, malah memadailah bagi orang Islam beriman secara prinsipnya sahaja.  Tunggu dan lihat jika usia kita lanjut dan masih hidup ketika kemunculannya nanti.

Ulama Islam berpendapat, dalil-dalil itu tidak termasuk dalam 6 rukun Iman.  Maksud jika ada manusia tidak beriman kepada ciri-ciri khusus bagi setiap dalil itu, maka imannya tidak rosak kerana dalil-dalilnya tidak qat`iyy (putus) sedangkan perkara iman hendaklah asas pendalilannya kuat dan tidak boleh dipertikaikan.

BERAGAMA DI ATAS PODIUM

Beragama merupakan janji (hak) dan fitrah setiap manusia (QS. al-A'raf : 172). Melalui agama, kehidupan manusia akan lebih terarah. Semua aturan agama tertuang jelas dalam kitab suci. Meski kitab suci bisa dibaca dan dipelajari semua kalangan, tapi pemahaman cahaya isi kitab suci hanya terbuka pada hati yang suci (qalbun salim).

Sebab, hanya pada hati yang suci (rindu Ilahi), kunci memahami agama se-cara benar akan terbuka lebar. Kebersihan hati akan membangun rasa cinta, kasih sayang, saling menghargai, berkeadilan, kejujuran, ketulusan, serta varian sifat dan prilaku mulia lainnya.

Kesucian hati mengacu pada keadaan hati yang bersih dari segala penyimpangan (iri, dengki, zalim, dendam, khianat, munafik, dan varian lainnya).  Hanya saja, manusia acapkali mudah tertipu dan menipu dirinya sendiri. Beragama hanya sebatas status, tanpa bekas. Tampil anggun lewat kata be-gitu santun, sosok yang taat, berjalan lembut seakan "melayang di udara", serta mengaku berhati seputih salju. Begitu terang penjelasan halal dan haram disampaikan, teriring kalam-Nya yang begitu fasih disenandungkan. Sosoknya tampil memukau (kata dan asesories), seakan begitu sempurna tanpa celah cela sedikit jua. Namun, terkadang semua "bahasa surga" dan tampilan saleh bak malaikat hanya hadir ketika di atas podium (mimbar). Begitu tampil tanpa podium, maka terlihat nyata sifat aslinya.

Semua kemuliaan yang dipertontonkan jadi sirna dan rusak bak "susu terkena tumpahan nila". Karakter "nila" yang tampil di atas podium telah menipu dan mengotori ruang peradaban. Keanggunan ketika tampil di podium. Padahal, tersembunyi hati yang busuk dan prilaku bak berharap neraka.

Ada beberapa indikasi sosok manusia yang hanya beragama "di atas podium", antara lain :

Pertama, Beragama sebatas simbol tanpa ruh. Agama hanya sekedar status (sosial atau keagamaan) dan "pakaian" (topeng) untuk menutupi kemungkaran yang dilaku-kan. Tipikal ini hanya mengedepankan simbol kesalehan melalui asesories lahiriah, kata yang tersusun indah, dan untaian ayat-Nya yang begitu fasih di-ucapkan.

Kata lembut seakan penghuni surga. Namun, tanpa "podium" katanya bak penghuni kerak neraka, karakter yang menginjak ayat Allah dan "menjualnya" sebagai komoditas meraih keuntungan duniawi. Padahal, banyak ayat-Nya yang melarang hamba mempermainkan agama (istihza' bi ad-din). Di antara larangan atas sifat dan prilaku manusia yang istihza' bi ad-din termaktub pada QS. al-Baqarah : 58-59 ; QS. an-Nisa' : 140 ; QS. at-Taubah : 65 -67. Mereka tampil sebagai pemeluk agama, tapi "mempermainkan ayat-Nya" untuk berselindung dari kejahatan yang dilakukan.

Anehnya, pelakunya kadangkala justeru mengetahui semua firman-Nya, tapi senang melakukan pelanggaran atas ajaran-Nya dan berdampak kerusakan masa depan peradaban (mafsadah lil 'alamin). Manusia berkarakter demikian sangat dicela oleh Allah. Hal ini tertuang pada firman-Nya : "Tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan kelengahan, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengannya (al-Qur’an) agar seseorang tidak terjerumus (ke dalam neraka), karena perbuatannya sendiri. Tidak ada baginya pelindung dan pemberi syafaat (pertolongan) selain Allah. Jika dia hendak menebus dengan segala macam tebusan apa pun, niscaya tidak akan diterima. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan (ke dalam neraka), karena perbuatan mereka sendiri. Mereka mendapat minuman dari air yang mendidih dan azab yang pedih karena mereka selalu kufur" (QS. al-An'am : 70).

Ayat di atas mengingatkan agar menjauhi orang-orang yang menjadikan agama se-batas senda gurau (topeng). Meski lisan bersumpah atas nama Allah, tapi justeru mempermainkan dan mendustai-Nya. De-mikian manusia berkarakter munafik yang dimurkai dalam firman-Nya : "Katakanlah, patutkah nama Allah dan ayat-ayat-Nya, serta Rasul-Nya kamu memperolok-olok dan mengejeknya ?" (QS. at-Taubah : 66). 

Begitu jelas prilaku orang yang memper-mainkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka manjadikannya sebagai permainan agar leluasa melakukan kejahatan. Padahal, semua yang dilakukan merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Anehnya, pemilik karakter ini justeru disanjung mulia.

Kedua, Tampil sempurna bila berada di atas "podium" dan media sosial, tapi --seakan-- tak beragama bila "tanpa podium" dan dikehidupan nyata. Semua sekedar berharap pengakuan (pujian) dan pencitra-an melalui publikasi, tanpa keikhlasan berbagi kebenaran untuk menerangi peradaban. Tampil ujub dan riya' atas semua yang dilakukan. Prilakuyang demikian merupakan perbuatan yang dimurkai-Nya. Hal ini diungkap melalui QS. al-Baqarah : 264 dan QS. al-Ma'un : 4-6.  

Ketiga, Selama manusia tampil di atas "podium", sosok hina terlihat mulia, prilaku cela menjadi sempurna, salah dinilai saleh (benar), pelanggaran dianggap wajar, dan tepukan gemuruh meski tak tau apa yang disuruh (prestasinya). Akibatnya, manusia berebut posisi tanpil di atas podium. Deng-an polesan atribut podium, tampil manusia nista berharap dipuja dan dimuliakan.

Sungguh, "podium" membuat deretan gelar begitu diperlukan, topeng ilmu jadi acuan, lilitan atribut kesalehan jadi kebanggaan, kepiawaian lidah mengukir kata lembut begitu mempesona, status sosial dan keagamaan penguat ke-aku-an, dan lantunan sumpah atas nama agama yang membahana sebatas topeng semata. Semuanya sebatas flexing kesalehan yang menyilaukan mata manusia pemilik sifat serupa. Tapi, ia tak bisa disembunyikan dari pengawasan-Nya. Sebab, semua hanya wujud kepalsuan belaka. Pada waktunya, Allah akan memperlihatkan wujud asli yang disembunyikan. Tak ada lagi tersisa ruang kesadaran atas kesalah-an. Sebab, hatinya telah terkunci. Hal ini diingatkan melalui firman-Nya :  "Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih" (QS. al-Baqarah : 7).

Meski sumpah berbalut nama Allah ter-ucap bak buih dilautan, tapi semua sirna ditelan ombak nafsu duniawi. Rasulullah telah mengingatkan : "Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pengaruh "podium" dan sumpah atas nama agama. Ketika podium berada di tangan dan mulut manusia munafik, maka bencana akan menimpa semesta. Fenomena ini menjadi perhatian serius Muhammad Abduh selama perjalanan --intelektual-- diberbagai belahan dunia. Menurutnya, "Aku pergi ke negara Barat. Aku melihat Islam, namun tidak melihat orang muslim. Ketika aku pergi ke negara Timur, aku melihat banyak orang muslim, namun begitu sulit melihat Islam.

Ungkapan Abduh di atas menjelaskan ten-tang fenomena manusia yang dilihatnya. Komunitas yang mayoritas muslim, tapi begitu lemah bila melaksanaan nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini terlihat pada rendah-nya kedisiplinan dan menghargai waktu, kebersihan yang tak terjaga, bekerja tanpa memiliki profesionalitas atau profesionali-tas tanpa amanah, dan varian lainnya. Aki-batnya, suguhan "podium" hanya ditempati manusia tanpa ruh. Wajar bila tampil para vampir peradaban "penghisap darah".

Sementara, negara yang mayoritas non muslim, tapi pelaksanaan kehidupan yang diterapkan mencerminkan nilai-nilai Islam. Hal ini terlihat pada kedisiplinan dan meng-hargai waktu yang tinggi, kebersihan yang terjaga, mengedepankan profesionalitas, menjunjung tinggi amanah dan harga diri, jujur, dan varian lainnya. Tampil manusia pemilik harga diri (muru'ah). Bertanggung-jawab pada amanah dan malu bila tak mampu melaksanakannya.

Semua fenomena yang dilihat oleh Abduh di atas dipengaruhi kualitas inner beauty setiap diri atas implementasi nilai ajaran agama. Meski komunitas non muslim, tapi mampu mengimplementasi ajaran Islam. Sebab, implementasi ajaran agama (Islam) diperoleh bila manusia menggunakan akal dan hatinya secara bersamaan. Hal ini me-rupakan fitrah manusia yang hakiki untuk menemukan ad-diin haniif. Hal ini dinyata-kan melalui firman-Nya : "Maka, hadapkan-lah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. ar-Rum : 30).

Jumhur mufassir memaknai fitrah sebagai ad-diin haniif. Hanya manusia yang meng-gunakan akal dan hati secara seimbang yang mampu menampilkan prilaku bernilai kebaikan. Tapi, bila beragama sebatas identitas dan topeng kesalehan bila di atas podium, maka perwujudan prilaku nista di luar podium terlihat nyata. Sebab, prilaku yang dipilih akan bertentangan dengan akal dan hatinya (seluruh potensi) telah dibelenggu oleh murka Allah (QS. al-Baqarah : 7). Manusia yang demikian akan semakin jauh dari ajaran agama.

Hanya keindahan batin (inner beauty) bisa menemukan cahaya hati yang hakiki. Bila cahaya-Nya mampu ditemukan, maka eksistensinya lebih terang dibanding penampilan zahir (fisik). Kesucian hati merupakan esensi hamba yang sejati. Ia tak bisa direkayasa. Ia akan tercermin pada prilaku dan kemuliaan adab mulia yang memancarkan nilai kebajikan, kejujuran, kebijaksanaan, dan welas asih.

Sementara hati yang kotor hanya mampu hadir melalui sentuhan "gemerlap podium" dan polesan asesories topeng kesalehan semu yang penuh kemunafikan. Sebab, tampilannya hanya beragama ketika tampil di atas podium. Namun, ketika hadir tanpa podium, sifat dan karakter asli terlihat nyata. Menyeruak bau "busuk menyengat". Bau yang dijaga oleh manusia berkarakter serupa (busuk). Pembela yang tetap dan terus memuliakan, percaya, dan berusaha mencari berbagai alasan pembenaran. 

Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis dan Waketum PB-ISMI

BAHAYA MERASA SIAL KARENA SESUATU

Analisis Reflektif: Menghapus Keyakinan Sial, Menegakkan Tauhid
 
1. Makna Utama
 
Tulisan ini mengingatkan kita bahwa merasa sial karena suatu tanda, waktu, atau peristiwa tertentu adalah bentuk kesyirikan halus (syirik khafi). Rasulullah ﷺ menegaskan dalam hadis yang dikutip:
 
“Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah (tanda kesialan), maka ia telah berbuat syirik.”
(HR. Ahmad)
 
Artinya, jika seseorang batal melakukan kebaikan hanya karena takut akan sial — misalnya karena mendengar suara burung hantu, melihat angka tertentu, atau mengikuti ramalan primbon — maka ia telah menodai tauhidnya. Sebab ia menempatkan sesuatu selain Allah sebagai penentu nasib.
 
 
2. Refleksi Keimanan
 
Di tengah masyarakat modern, masih banyak bentuk kepercayaan lama yang menyusup ke dalam budaya:
• Tidak menikah di bulan tertentu karena dianggap “bulan sial”.
• Takut keluar rumah jika melihat pertanda aneh.
• Menunda niat baik karena “perasaan tidak enak”.
 
Padahal, takdir dan nasib seseorang hanya berada di tangan Allah. Tidak ada hari sial, tidak ada angka sial, tidak ada bulan sial. Yang ada hanyalah hari ujian dan hari keberkahan, tergantung bagaimana kita mengisinya.
 
Allah ﷻ berfirman:
 
“Katakanlah: Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami; Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang mukmin bertawakal.”
(QS. At-Taubah: 51)
 
 
3. Refleksi Sosial dan Budaya
 
Kita hidup di masyarakat yang sering mencampur antara adat dan aqidah. Misalnya, saat burung hantu bersuara dianggap tanda kematian, atau saat kaca pecah dianggap pertanda buruk. Padahal semua itu hanyalah kejadian alam yang netral, tidak memiliki kekuatan gaib.
 
Refleksi penting bagi umat Islam: memisahkan budaya yang bertentangan dengan tauhid tanpa memutuskan nilai sosialnya. Kita tetap boleh menghormati tradisi, selama tidak meyakini bahwa ia menentukan nasib dan keberuntungan.
 
 
4. Refleksi Pribadi
 
Tulisan ini menuntun kita untuk muhasabah diri:
• Apakah selama ini kita masih menyimpan keyakinan “takut sial”?
• Apakah kita lebih percaya pada tanda-tanda dunia daripada takdir Allah?
• Apakah kita berani melangkah dengan penuh tawakal tanpa dibayangi rasa waswas?
 
Jika masih ada sisa-sisa kepercayaan itu, berarti masih ada ruang untuk memperbaiki tauhid kita. Karena kemurnian tauhid adalah sumber ketenangan, keberanian, dan kebebasan sejati dari belenggu tahayul dan khurafat.
 
 
5. Pesan Pendidikan untuk IRGT School
 
Bagi lembaga pendidikan seperti IRGT School, pesan ini penting untuk:
• Menanamkan akidah yang lurus dan rasional pada siswa.
• Mengajarkan scientific thinking dan spiritual clarity — bahwa segala sesuatu berjalan dengan hukum Allah, bukan karena mitos.
• Menumbuhkan mental berani dan optimis, tidak mudah takut oleh hal-hal di luar logika iman.
 
🌟 Penutup
 
Jangan gantungkan nasibmu pada tanda, waktu, atau makhluk,
karena semua itu tidak punya daya apa pun tanpa izin Allah.
Yakinlah, setiap hari adalah kesempatan baru untuk berbuat baik, bukan hari sial.
 
“Tauhid adalah cahaya yang memadamkan semua bayangan rasa takut kecuali takut kepada Allah.”
— Jasman Jaiman

KETAHANAN IDEOLOGI ISLAM

“Pensil mengenai Diri menuliskan seratus hari-hari ini, guna mencapai fajar suatu hari esok. Apinya membakar seratus Ibrahim, sehingga sebuah lampu Muhammad dapat diyalakan.”

—Muhammad Iqbal—

Islam merupakan agama yang nilai aksiomatiknya paling berpengaruh terhadap pemeluknya. Ia tidak hanya dijadikan sebagai ritual keagamaan, tidak hanya dijadikan sebagai way of life, tetapi juga sebagai ideologi atau pemikiran yang sepanjang sejarahnya, telah membuktikan dirinya sebagai suatu kekuatan yang berkali-kali terus memperbarui dirinya sendiri.

Islam membuktikan bahwa ia berhasil hidup kembali dari mati suri yang dikatakan oleh para pengamat Barat—seperti Marshall Hodgson dan Albert Hourani—sebagai “lonceng kematian pandangan dunia Islam”, Ideologi Islam menggerakkan organisasi-organisasi sempalan, partai-partai politik, serta gerakan-gerakan masyarakat dan keagamaan. Ideologi ini terbukti memiliki ketahanan kuat, menolak dengan realitas nyata atas anggapan bahwa ia tak dapat bertahan terhadap modernitas.

Teori Kebangkitan Islam

Dalam memahami fenomena bangkitnya ideologi atau pemikiran Islam, terdapat istilah revivalisme Islam atau Islamic resurgence. Dalam buku Politik Kebangkitan Islam (2001) yang dieditori oleh Shireen T. Hunter, tersirat bahwa revivalisme Islam adalah suatu gerakan yang menginginkan adanya pengidentifikasian kembali atau membangkitkan kembali jati diri yang sudah melemah atau bahkan hilang.

Revivalisme Islam kontemporer muncul karena satu faktor utama, yaitu merosotnya moral dan perilaku umat Islam yang disebabkan oleh terutama: adanya sekulerisasi dan westernisasi.

John L. Esposito dalam Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? (1994), juga menjelaskan bahwasannya kebangkitan Islam itu muncul karena pandangan Barat—yang hadir di negeri-negeri muslim—terhadap umat Islam sebagai suatu masyarakat yang anti-modernitas dan dengan demikian merupakan rintangan bagi kemajuan sosial dan politik.

Oleh sebab itu, mereka “membantu” peradaban muslim dengan melakukan sekulerisasi, marginalisasi nilai-nilai Islam dan meredupkan aktivitas orang Islam sebagai suatu umat, agar dapat mewujudkan perubahan yang mereka anggap sesuai dengan modernitas.

Akan tetapi, kata Esposito, pada kenyataannya, para ulama dan aktivis gerakan revivalis Islam justru memanfaatkan teknologi modern untuk menggerakkan dukungan massa dan menyampaikan pandangan dan pesan-pesan kepada umat Islam, baik dalam skala nasional maupun transnasional.

Mereka berhasil membangun kekuatan dari dalam sehingga Islam menjadi penting kembali. Islam mendapatkan kembali prestige dan harga dirinya. Mereka menunjukkan bahwa umat Islam tidak anti modernisasi. Di lain pihak, menurut Chandra Muzaffar dalam esai “Kebangkitan Islam: Suatu Pandangan Global dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara”, kebangkitan Islam sering dipandang sebagai ancaman bagi mereka yang memegang nilai lain. Islam sebagai alternatif, dianggap tantangan terhadap sistem sosial yang dominan pada saat ini.

Beberapa Contoh Ketahanan Ideologi Islam

Sejak invasi peradaban Barat ke negara-negara muslim di Asia-Afrika sejak abad ke-15 hingga 20, serta runtuhnya Khilafah Ustmani pada 1922 akibat kekalahan dalam Perang Dunia I, umat Islam kehilangan kepercayaan diri terhadap tatanan hidup dan sistem nilai yang bersumber dari agamanya.

Kesultanan-kesultanan dan khilafah yang berdiri selama berabad-abad, runtuh tak kuasa menangkal serbuan peradaban Barat. Rakyat di negeri-negeri Asia-Afrika didiktekan apa yang baik untuk mereka, apa yang disebut dengan modernitas, apa yang disebut dengan moral yang beradab, apa yang disebut dengan toleransi, dan apa yang disebut dengan pemerintahan yang baik. Semuanya berdasarkan pengalaman dan sudut pandang Barat.

Ketahanan ideologi Islam dapat kita temukan di berbagai negara, mulai dari Turki, wilayah-wilayah Maghribi hingga Indonesia. Pada 1970, revolusi Islam Iran berhasil menumbangkan rezim Shah. Adalah Imam Khomeini, pemimpin spiritual di Iran yang menjadi tokoh sentral yang mampu menggerakkan massa menuju revolusi.

Dua dekade kemudian, milisi-milisi jihad yang bersatu dibawah Komando Aksi Jihad Gabungan Afghanistan, berhasil menumbangkan rezim komunis dan mendirikan negara Republik Afghanistan yang berlandaskan Islam. Keberhasilan yang sama juga terjadi di Pakistan dan Checnya.

Di lain pihak, kita juga dapat menemukan gerakan revivalis atau Islamic resurgence yang berhasil membawa warna hijau di ladangnya masing-masing. Pada abad ke-18, terdapat tokoh Muhammad Abdul Wahhab yang sukses menyebarkan pahamnya—purifikasi konservatif yang biasa disebut dengan wahhabisme—di Saudi Arabia, dan Shah Waliyullah yang membawa gagasan penafsiran kembali Islam yang progresif di India.

Kemudian pada abad ke-19, empat tokoh besar dalam sejarah telah menaikkan prestige dan reidentifikasi umat Islam ke tingkat yang lebih baik dari masa sebelumnya, yakni Sayyid Muhammad bin Ali al-Sanusi di Libya, Jamaluddin al Afghani. Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir, dan Mulla Hadi Sabziwari di Iran.

Di abad ke-20, revivalisme Islam kembali mendapatkan momentumnya melalui pemikiran dan gerakan Hasan al Banna, Sayyid Hawa, dan Sayyid Quthb di Mesir. KetIganya merupakan think tank gerakan Ikhwan al Muslimin, sebuah organisasi Islam terbesar di dunia yang ada di 70 negara dengan nama yang berbeda.  Kemudian Badiuzzaman Said Nursi di Turki, ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) dan Darul Arqam di Malaysia, serta Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya dan Gerakan Tarbiyah di Indonesia.

Ideologi Islam: Renewing Itself

Ideologi Islam berhadapan dengan loyalitas-loyalitas  baru yang muncul di setiap zaman. Ia pernah berhadapan dengan penguasa dan kelompok-kelompok yang meminggirkannya, bahkan memusuhinya dalam lingkup publik. Akan tetapi, ideologi ini selalu muncul kembali sebagai salah satu penentu loyalitas serta identitas masyarakat yang paling signifikan di dunia Islam. Atheisme, sekulerisme, liberalisme, komunisme, materialisme, nyatanya tidak berhasil menembus benteng keimanan dan kecintaan banyak muslim terhadap ideologi Islam, hingga kini.

Ideologi Islam muncul dalam berbagai tipe. Ia diperbarui kembali, memjelma menjadi sebuah gerakan kembali, menjawab tantangan zaman kembali, dan berpengaruh kembali. Ideologi ini didekap mulai dari yang menafsirkan Al-Qur'an secara dangkal, hingga yang telah mencapai ma'rifat dalam kesufian. Ideologi ini tahan dari kelapukan, menyalahi tanggapan seorang orientalis yang mengatakan "Islam seharusnya berada di museum".

"Ideologi tak hanya sekadar abstrakis yang dicari di belahan otak mana pun, di lipatan kulit mana pun, dan di sel darah mana pun, tidak akan ditemukan. Ideologi itulah nyata yang lebih nyata daripada tinta. Nyata dalam darah yang tumpah di setiap peperangan. Nyata dalam kejatuhan-kejatuhan. Nyata dalam teriakan revolusi dari timur hingga barat. Nyata dalam pertemanan dan permusuhan."

IMAM MALIK DAN KITAB AL-MUWATTA'

IMAM Malik Ibnu Anas, pengasas suatu aliran dalam perundangan Islam yang terkenal dengan nama Mazhab Maliki. Nama penuhnya Abu Abdullah Malik bin Anas bin Abi Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi.

Berasal dari Negeri Yaman. Salah seorang datuknya berpindah ke Madinah. Beliau seorang tokoh ilmu fiqah yang terkemuka di Hijaz. Banyak ulama besar yang mempelajari hadis daripada beliau. Mereka datang dari segenap wilayah Islam pada waktu itu.

Imam Malik, dilahirkan di Madinah pada 94 Hijrah/716 Masihi dan tidak pernah meninggalkan kota itu hingga beliau meninggal dunia pada 179 Hijrah/795 Masihi, ketika berusia sekitar 85 tahun.

Ketinggian ilmu beliau dalam urusan fiqah dan hadis telah diakui oleh semua ulama. Keimanannya sangat kuat. Tidak gentar kepada pemerintah. Sentiasa mengeluarkan pendapat bagi kepentingan ilmu dan agama, walaupun menyebabkan orang marah.

Kitab al-Muwattak karangannya adalah yang terbaik dalam bidang fiqah dan hadis. Kitab inilah yang pertama mengumpulkan hadis-hadis ulama Hijaz, pendapat-pendapat sahabat dan tabiin.

Beliau menyusunnya secara susunan kitab fiqah. Dinamakan al-Muwattak, mungkin kerana para ulama masa itu telah sepakat tentang kebenaran isinya.

Khalifah Harun ar-Rasyid, pernah meminta Imam Malik supaya pergi ke Iraq agar beliau dapat memerintahkan rakyat mengikut isi al-Muwattak seperti Khalifah Uthman memerintahkan seluruh rakyat memakai mashaf yang dibukunya.

Perintah ini ditolak oleh Imam Malik dengan alasan: “Menyuruh seluruh rakyat mengikut isi al-Muwattak adalah perkara yang tidak wajar, kerana para sahabat sesudah Rasulullah SAW wafat berselerak ke serata pelosok. Mereka telahpun meriwayatkan hadis di tempat mereka berada.”

Oleh itu, berkemungkinan di tempat mereka itu ada ilmu yang tidak ada dalam al-Muwattak. Pergi mengikut perintah khalifah pun tidak mungkin dilakukan, kerana Nabi SAW pernah berkata:  “Ada orang kelak yang meninggalkan Madinah kerana kepentingan dunia, sedangkan Madinah lebih baik bagi mereka jika mereka mengetahui”.

Hubungi Kami

Alamat:
No.5B, Jalan 3/70 Damai Point, Seksyen 3, 43650 Bandar Baru Bangi. Selangor

Telefon: +60 17-377 7732
Email: alfalahmadani2022 [@] gmail.com

Jumlah Pengunjung

040877
Hari ini: 57
Minggu Ini: 314
Bulan Ini: 5,159
Tahun Ini: 40,877
Tahun Lepas: 5,538
Image

Alfalahmadani.my merupakan sebuah portal yang bertanggungjawab untuk bertindak sebagai penampan bagi setiap tuduhan, fitnah, kekeliruan, ketidakfahaman dan kecelaruan yang berlegar di minda rakyat. Sama ada isu-isu yang timbul secara organik di media sosial, ataupun yang didorong sebagai naratif oleh pihak-pihak tertentu,

Alfalahmadani.my akan menjawab setiap permasalahan dengan pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Tentunya, kehadiran Alfalahmadani.my bukan berhasrat menyatakan kesempurnaan pemikiran, tetapi sebagai wahana untuk menuju kesempurnaan pengetahuan dalam konteks pemikiran semasa, dan kebijaksanaan yang mampu diusahakan.