PERCAYALAH bahawa di kalangan kita Umat Islam banyak yang akan terjerumus kedalam neraka jika tidak berhati hati dalam pengucapan sehari melalui perkataan mahupun tulisan. Sudah wajarnya setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisan dan tulisannya, karena boleh jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan biasa namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala.
Hendaknya selalu berhati-hati agar tidak terjerumus meyakini dan turut menyebarkan kabar bohong dan fitnah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahawa Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Sesungguhnya Allah meredhai kamu pada tiga perkara dan membenci kamu pada tiga pula. Allah meredhai kamu bila kamu hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kamu berpecah belah. Dan Allah membenci kamu bila kamu suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta.”
Di antara tanda baiknya seorang Muslim adalah ia meninggalkan hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Waktunya diisi hanya dengan hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Sedangkan tanda orang yang tidak baik islamnya adalah sebaliknya Umar bin Abdul Aziz berkata: “Siapa saja yang tidak mengalkulasi perkataan dari perbuatannya, maka banyak kesalahannya.” Sebagian ahli hikmah berkata: “Akal seseorang bersembunyi di bawah lisannya.” Sebagian ahli balaghah berkata: “Penjaralah lisanmu, sebelum kamu dipenjara dalam waktu yang lama, atau jiwamu binasa.
Tidak ada sesuatu yang lebih utama dari memenjara dalam waktu yang lama terhadap lisan yang sedikit benar, namun banyak bicara.”Abu Tammam ath-Tha’iy berkata: Di antara ahli hikmah mengatakan bahwa lisan seseorang termasuk bayangan hati. Sehingga sebagian ahli hikmah mengurangi kesempatan berbicara, dan berkata: “Apabila Anda duduk bersama orang-orang bodoh (dalam satu forum), maka diamlah. Dan apabila anda duduk bersama para ulama (dalam satu forum), maka diamlah. Sesungguhnya diammu ketika bersama orang-orang bodoh, maka itu akan menambah kesabaran. Sementara diammu ketika bersama para ulama, maka itu akan menambah pengetahuan (ilmu).
Dari Kitab Adab ad-Dunyā wa ad-Dīn, karya Imam al-Mawardi, Rasulullah SAW menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Mahukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi SAW menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” - (HR. At-Tirmidzi)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka. Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu, sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)
Hendaklah seseorang berfikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” - (HR. Muslim)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi RH dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan
jika tidak maka diamlah.” - (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Di akhir zaman ini yang telah berlaku hari ini, lisan mungkin tidak berkata-kata. Kita semakin kurang berkata-kata. Pandang sahaja meja makan sebuah keluarga di kedai. Ibu, bapa dan anak-anak sudah tidak berbual. Meja mereka sepi daripada perbualan. Tetapi itu tidak bermakna mereka tidak berkata-kata. Tidak berkomunikasi. Lidah mereka diam, tetapi tangan mereka sedang bingit berkata-kata. Mereka berbual di media sosial. Mereka berkomunikasi di Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, Telegram selepas zaman MiRC dan ICQ sebagai pemula.
Di zaman ini, apa yang Allah dan Rasul ingatkan tentang bahaya lisan, bukan lagi lisan yang melakukannya. Di akhir zaman, tangan mengambil alih perbuatan lisan. Oleh itu, semua yang dipesan oleh Rasulullah sallallāhu ‘alayhi wa sallam tentang lisan, perlu diimbas kepada aktiviti tangan. Kecelaan tangan bukan lagi pada mencuri, merompak, memukul, dan senarai-senarai klasik-nya. Kecelaan tangan adalah pada tingkah lakunya sebagai penaip perkataan di alam tersebarnya qalam! “Menjelang Kiamat (berlakunya perkara-perkara berikut): memberi salam hanya secara khusus kepada golongan tertentu, tersebarnya perniagaan hingga isteri turut sama terpaksa membantu suaminya menguruskannya, memutuskan silaturahmi, tersebarnya pena, semakin ketaranya kesaksian palsu dan menyembunyikan kesaksian yang benar.” - (Sahih Al-Adāb al-Mufrad)
Bagaimanakah tersebarnya pena mendatangkan bencana? Sedangkan pena itu mulia, hingga Allah bersumpah dengannya di dalam surah al-Qalam. Pena adalah alat menulis, menyokong perintah baca (Iqra’) dan menyempurnakannya. Tetapi akan sampai satu zaman, pena yang tersebar menjadi bencana. Revolusi teknologi maklumat Hari ini, kita hidup di era revolusi ketiga yang sedang sangat agresif berkembang. Banyak perkara yang tidak pernah berlaku dan tidak pernah dibayangkan sebelum ini, berlaku di depan mata. “Tersebarnya pena” sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi SAW itu perlu diperluaskan pemahamannya dengan merujuk kepada semua medium yang berperanan seperti peranan pena iaitu Internet.
Dan di media sosial, apa yang ditulis dan disalin tanpa had itu bukan ILMU yang peratusnya kecil. Sebaliknya ia adalah butir komunikasi yang dahulunya dilakukan oleh lisan. Apabila kita berkomunikasi dengan lisan, kita hanya bercakap dengan beberapa orang pada satu-satu masa. Mereka yang jaraknya 10 meter dari kita, sudah tidak terbabit. Mereka yang hadir lewat 10 minit, mungkin sudah tidak tahu cerita. Tetapi tidak keadaannya apabila yang berbicara adalah TANGAN! Kerana itulah, apa sahaja peringatan Nabi SAW tentang LISAN, perlu dituju kepada perbuatan tangan.
Baginda SAW bersabda: “Apabila anak Adam bangun pagi, maka sesungguhnya seluruh anggota tubuhnya memujuk lisan, lalu mereka berkata, “bertaqwalah kepada Allah wahai lisan, pada menjaga hak kami. Sesungguhnya kami ini adalah bergantung kepadamu. Jika engkau lurus, luruslah kami. Dan jika engkau bengkok, bengkoklah kami.” - [HR Al-Suyuthi di dalam al-Jāmi’ al-Saghīr] Dulu-dulu, lidah itu yang sering mahu menyampuk, menyibuk, bercakap yang tidak perlu, bercakap yang menimbulkan sesalan. Kini, yang liar itu adalah tangan dan jari-jemari.
Tiada tercapai makna Iman, sehingga seseorang itu boleh mengekang lisannya. Sufyan bin ‘Abdullah RA berkata; “Wahai Rasulullah, terangkanlah kepadaku tentang sesuatu untuk aku beristiqamah berpegang dengannya. Baginda menjawab: katakanlah Tuhanku adalah Allah dan kemudian berpegang teguhlah kamu (dengannya). Aku berkata lagi: wahai Rasulullah apakah perkara yang paling engkau khuatirkan ia menimpa diriku? Baginda menunjukkan lisannya dan berkata: INI!” - (Sahih Ibn Hibban)
Dulu-dulu, lidah itu jika boleh disepit, disepit-sepit agar tidak sewenang-wenangnya bercakap, hingga itu yang menjadi kebimbangan utama Rasulullah SAW. Tetapi kini, lidah elok berehat di dalam mulut. Yang cela dan menabur celaka adalah tangan yang berkata-kata. Habis dibingit dan diporak-porandakan sana sini, oleh tangan.
Catatan: Ibnu Majid