TOPENG PENCITRAAN

TOPENG PENCITRAAN

MESKI istilah pencitraan berasal dari kata citra, namun ternyata keduanya berbeda secara substansi. Secara sederhana, citra (image) merupakan gambaran objektif kualitas diri (karakter, kompetensi, moral, prestasi, dan varian lain yang dimiliki.

Citra diri bisa bernilai positif atau negatif (fisik dan moral). Umumnya, kualitas citra diri dinilai oleh orang lain, bukan oleh diri sendiri. Penilaian atas citra bersifat alami, tanpa rekayasa. Sebab, citra mulia ber-upaya menyembunyikan kelebihan dan mengintrospeksi kelemahan diri. Sebab, citra seseorang hadir "apa adanya" (alami). Meski demikian, pemilik citra acapkali kurang disenangi, bahkan disingkirkan.

Berbeda manusia pencitraan. Ia selalu berupaya merekayasa seakan memiliki citra mulia. Sebab, pencitraan hadir karena "ada apanya" (tujuan tersembunyi). Untuk itu, berbagai upaya pencitraan akan menge-depankan strategi untuk "mengkodisikan" agar citra negatif pada dirinya seakan menjadi citra positif. Sebab, pencitraan adalah proses yang berupaya membentuk opini, kesan, gambaran, prilaku, dan pikiran (orang atau kelompok) tentang suatu hal yang bernilai negatif menjadi --seakan-- bernilai positif. Untuk itu, diperlukan dalil kemunafikan yang rapi dan masif. 

Berbagai upaya "culas" dilakukan agar tampil elegan, hadir kekaguman, dan ber-ujung pujian. Untuk mencapai maksud tersebut, semua upaya (menghalalkan segala cara) akan dilakukan. Media sosial menjadi ruang yang efektif membangun pencitraan diri atau merusak citra lawan (rekayasa informasi). Tentu semua upaya pencitraan tak bisa lepas dari taburan materi dan "transaksi" yang membuat dirinya layak untuk dipublikasi. Media penerima "orderan"  begitu lihai mengolah pencitraan atau merusak citra (harga diri) orang lain. Mereka lupa bahwa perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini secara tegas dinyatakan melalui firman-Nya : "Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di- kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui" (QS. an-Nur : 19).

Memperkuat ayat di atas, Rasulullah meng-ingatkan melalui sabdanya : "Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah dan jangan pula mencela mereka, serta jangan-lah mencari-cari keaiban mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari keaiban saudaranya yang muslim, maka Allah akan membuka­kan aibnya hingga mempermalukannya di dalam rumahnya" (HR. Ahmad).

Meski ayat dan hadis di atas begitu jelas dan tegas, namun manusia secara nyata melakukan pengingkaran. Citra kebaikan "lawan" dinafikan sembari menciptakan citra negatif sebagai obrolan. Sebaliknya, citra negatif "sang tokoh" akan ditutupi dengan pencitraan positif yang direkayasa. Semua begitu intens dilakukan dengan polesan "janji status" dan gemerlap materi yang menyilaukan "mata keserakahan". Tak peduli harga diri dan agama terjual, asal tujuan tercapai. Anehnya, meski prilaku culas "pendusta agama" begitu nyata, namun masyarakat lebih mudah percaya.

Isu negatif lebih digemari dan di-senangi, ketimbang berita mencerdaskan. Tak ada ruang mencari kebenaran. Hanya tersisa ruang kepuasa  bila "menghakimi". Sedangkan info kebaikan kurang diminati untuk diketahui. Sungguh, pencitraan yang penuh kemunafikan justru lebih mendapat perhatian dan mengundang "kekaguman". Semua ini menandakan rendahnya kualitas (akal dan iman) yang dimiliki publik akhir zaman. Mereka senang tertipu dan mudah terprovokasi tanpa berfikir bijaksana.

Pencitraan --melalui media titipan-- tampil penuh tipu daya. Ada beberapa bentuk pencitraan yang acapkali dilakukan untuk menutupi prilaku culas, antara lain :

Pertama, Pencitraan berupaya me-make up kejelekan diri dengan kata "suci", pe-nampilan "surga", dan berprilaku seakan "malaikat tanpa dosa". Pencitraan yang membuat umat terperdaya dan terpesona oleh hiasan keshalehan yang ditampilkan. Ketika masyarakat terpesona dan muncul fanatisme atas pencitraan keshalehan yang ditampilkan, maka ia begitu leluasa ia melakukan kesalahan demi kesalahan yang kalanya di luar nalar manusia normal. Pencitraan kesalehan melalui tampilan dan "kata suci" hanya sebatas upaya "bunglon" membangun simpatik untuk menutupi seluruh "kelicikan". Lisan ringan menyebut nama Allah dan tampil "sempurna" tanpa dosa. Padahal  semua penuh tipu daya belaka. Rasulullah sangat mencela sosok manusia yang demikian. Hal ini tertuang melalui sabdanya : "Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian semua sepeninggalku adalah orang munafik yang pintar berbicara" (HR. at-Tabrani).

Karakter manusia yang dikhawatirkan Rasulullah di atas, secara khusus dijelas-kan Allah melalui QS. al-Munafiqun : 1-7. Melalui firman-Nya tersebut, ciri-ciri kaum munafik, antara lain : kata mengaku saleh tapi salah, beriman dan --seakan-- penuh kebaikan, sumpah palsu "berjubah" agama, hati kotor dan licik, tampil anggun penuh tipuan, dan merasa paling benar atau suci. Semua dikemas melalui pencitraan mulia yang penuh tipuan dan kemunafikan.

Kedua, Pencitraan menjadi kaca buram. Semakin gempita pencitraan dilakukan, pertanda semakin tebal noda dan dosa yang sebenarnya disembunyikan. Kaca buram tersebut menjelaskan wujud hati yang tidak jernih atau tidak suci, penuh dengan dosa, keserakahan, hawa nafsu, kemunafikan, dan kesombongan. 

Cermin buram tidak mampu memantulkan cahaya bayangan (prilaku) dengan jelas (konsisten). Bayangan buram atas kualitas hati yang kotor tak mampu menghadirkan kebaikan dan kebenaran secara utuh. Pada waktunya, semua kotoran akan terlihat tanpa bisa ditutupi (QS. al-Zalzalah : 7-8).

Ketiga, Pencitraan "seakan positif" per-tanda tumpukan prilaku dan sifat negatif yang ingin ditutupi. Melalui upaya ini, diharapkan muncul kekaguman umat pada dirinya. Akibatnya, hadir kepongahan me-rasa mulia atas pujian yang diperoleh.

Upaya menutupi segudang kesalahan dengan setitik kebaikan (pencitraan semu) merupakan bentuk perbuatan tercela. Hal ini dinyatakan melalui firman-Nya : "Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, padahal kamu mengetahui" (QS. al-Baqarah : 42).

Sungguh, kalanya logika terbalik perlu digunakan untuk menilai bentuk pencitra-an seseorang. Padahal, pencitraan adalah kebohongan. Sebab, mencitrakan sosok yang baik padahal menyembunyikan kejahatan, mengatakan diri paling bersih padahal paling kotor, berkata paling alim padahal paling jahil (ingkar), taat hukum padahal "menjual" kebenaran, sosok pemaaf padahal menyimpan dendam kesumat, tampil lembut padahal menyim-pan kekerasan tersembunyi, bergaya bak "malaikat" padahal berkarakter "iblis", dan varian lainnya. Ternyata, tipikal manusia yang mengedepankan pencitraan palsu hadir sejak dahulu kala. Hal ini diingatkan Rasulullah melalui sabdanya : “Sesungguh-nya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian” (HR. Muslim).

Pada hadis lain, Rasulullah mengingatkan bahaya "pencitraan" yang penuh kepura-puraan. Tampilan lahiriyah begitu anggun, status --seakan-- mulia, kata indah yang terkesan "tanpa dosa", namun hati dan perbuatannya begitu kotor dan bernajis. Untuk itu, Islam mengajarkan agar umat tak mudah percaya terhadap manusia yang banyak bicara "kemuliaan dirinya". Sebab, hal tersebut hanya sebatas pen-citraan untuk menutupi aib dirinya. Hal ini sesuai sabda Rasulullah : "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam" (HR. Bukhari dan Muslim).

Makna "berkata baik" pada hadis di atas berarti mengucapkan kata-kata yang bermanfaat, membangun motivasi, jujur (tidak bermulut manis), dan tawadhu'. Bila tak mampu menjaga lisannya dari kata dusta, maka ia akan diam. Ia hanya sibuk dengan karya nyata yang bermanfaat bagi peradaban, bukan sebatas karya kata yang tak pernah sinkron antara ucapan dan apa --atau telah-- yang dilakukan. 

Sungguh, Allah telah mengingatkan agar setiap manusia jangan sibuk mengumbar pencitraan agar terkesan memiliki citra (mulia) yang diinginkan. Sebab, upaya pen-citraan memerlukan biaya besar. Apatah lagi bila upaya pencitraan menggunakan pundi bersumber dari cara haram, maka sem-purna kebiadaban dilakukan. Untuk itu, biar citra (kebaikan) diri hadir secara alamiah (sunnatullah) tanpa melanggar ajaran agamaHal ini sesuai firman-Nya : "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang te-lah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan" (QS. al-Hasyr : 18).

Ayat di atas ditutup peringatan bahwa "Allah Maha Teliti terhadap semua yang dilakukan". Tak ada yang bisa ditutupi. Se-tiap pencitraan yang dilakukan bisa saja mampu menipu sesamanya, tapi tak akan pernah mampu menipu Allah dan Rasul-Nya. Mungkin penduduk bumi akan memuliakannya, tapi penduduk langit justeru menghinanya. Pada saatnya, Allah akan memperlihat semua tipu daya yang selama ini dilakukan dan disembunyikan. Sebab, semua pencitraan akan berujung terbukanya aib dan karakter asli yang ter-sembunyi atau sengaja disembunyikan.

Sungguh, begitu aneh sifat manusia. Para pemilik citra mulia selalu disingkirkan dan dimusuhi. Tapi, pemilik  topeng, pencitraan selalu dipuja, dirangkul, dan disenangi. Mungkin sudah tiba zaman serba topeng kemunafikan. Pilihan sikap yang bertolak-belakang dengan logika manusia normal dan menginjak tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Ketika logika tak lagi digunakan dan tuntunan agama tak lagi dipedomani, lalu masihkah layak dikatakan manusia ber-akal, bermoral, dan beragama ?. Entahlah...

Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis

Hubungi Kami

Alamat:
No.5B, Jalan 3/70 Damai Point, Seksyen 3, 43650 Bandar Baru Bangi. Selangor

Telefon: +60 17-377 7732
Email: alfalahmadani2022 [@] gmail.com

Jumlah Pengunjung

032657
Hari ini: 226
Minggu Ini: 226
Bulan Ini: 6,453
Tahun Ini: 32,657
Tahun Lepas: 5,538
Image

Alfalahmadani.my merupakan sebuah portal yang bertanggungjawab untuk bertindak sebagai penampan bagi setiap tuduhan, fitnah, kekeliruan, ketidakfahaman dan kecelaruan yang berlegar di minda rakyat. Sama ada isu-isu yang timbul secara organik di media sosial, ataupun yang didorong sebagai naratif oleh pihak-pihak tertentu,

Alfalahmadani.my akan menjawab setiap permasalahan dengan pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Tentunya, kehadiran Alfalahmadani.my bukan berhasrat menyatakan kesempurnaan pemikiran, tetapi sebagai wahana untuk menuju kesempurnaan pengetahuan dalam konteks pemikiran semasa, dan kebijaksanaan yang mampu diusahakan.