Benarkah Cyberspace (dunia atau ruang siber), sebuah 'saluran global antara manusia' yang dapat mendekatkan manusia pada agama melalui komunikasi canggih? Benarkah ia sebagai sebuah saluran yang dapat mempermudahkan pengajaran berbagai agama dan ajaran 'spiritual'? Atau, ia mungkin saja sudah menjadi agama itu sendiri : 'cyber-religion'? Atau, ia justeru sudah menjadi 'ajaran spiritual ' itu sendiri : cyber-spirituality?, sebagaimana yang sering didakwa oleh optimisme para siberis sejati seperti Timothy Leary atau Mark Pesce. Timothy Leary dalam bukunya Chaos and Cyber culture (1994) menyakini bahawa dunia cyberspace telah menciptakan sebuah kondisi 'spiritual' baru, di mana: "You're imprinted to want a peaceful, tolerant funny world. You can choose your Gods to be smart, funny, compassionate, cute and goofy". Lalu, silalah anda memilih Tuhan anda sendiri di dalam cyberspace, sesuai dengan keinginan dan selera anda, Ertinya, tuhan itu sendiri tidak lain dari 'fikiran manusia' yang dimuat ke dalam komputer, yang dapat dibentuk dan diubah. Benarkah demikian?
Dalam perbincangan mengenai hubungan antara dunia 'spiritual' dan dunia 'cyberspace' ini, ada tiga persoalan mendasar yang menyangkut 'keagamaan' yang juga menjadi perbincangan hebat di kalangan para siberis iaitu : persoalan ruh (spirit), jiwa (soul), dan Tuhan (God). Pertama, persoalan 'spirit', ada optimisme yang berkembang di kalangan siberis, bahawa 'informasi' atau 'elektronik-digital' adalah bentuk baru dari 'spirit', menggantikan 'spirit' sebagai sebuah istilah yang selalu dikaitkan dengan Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh Ray Kurzweil dalam bukunya The Age of Spiritual Machines: When Computers exceed Human Intelligence (1999). Kurzweil percaya 'elektronik-digital' adalah bentuk 'spiritual' baru, dan alam 'spiritual' yang selama berabad-abad dapat diimajinasikan oleh manusia, kini boleh jadi dapat direalisasikan. Dengan muatan 'spiritual' seperti itu, cyberspace memungkinkan orang untuk melakukan OOB (out-of-body), dan hidup di dalam alam 'spiritual' baru.
Kedua, persoalan 'jiwa'. Di sini juga berkembang semacam optimisme lain terhadap kemungkinan dapat 'diabadikan' dan 'dimuatnya' jiwa yang mendiami jasad fizikal manusia ke dalam komputer. Menurut Kurzweil, bila istilah 'jiwa' didefinisikan sebagai :prinsip 'vital' yang memberikan kekuatan hidup di dalam diri manusia, yang dianugerahi kemampuan berfikir, bertindak dan emosi, dan yang membentuk 'entiti immaterial' yang dibezakan dari - akan tetapi hadir bersama secara sementara bersama tubuh, maka pengertian "immaterial" di dalam definisi tersebut dapat difahami sebagai "tidak nampak oleh mata", (misalnya, elektronika-molekul-atom). Dan, dalam pengertian ini, istilah 'jiwa' dapat diertikan sebagai informasi yang diproses dan disimpan pada sel-sel, molekul, atom yang bersifat 'mikroskopik. 'Jiwa' adalah "segala bentuk informasi yang hidup", iaitu yang mampu dipanggil kembali dan dikomunikasikan. 'Kematian', dalam kerangka pengertian ini, dapat diertikan sebagai proses tidak berfungsinya lagi tindakbalas tanda (signal) dalam sistem informasi tubuh manusia. Akan tetapi, 'simulasi' dari sistem informasi tersebut dapat ditirukan di dalam komputer. Berdasarkan pandangan ini, apa yang disebut sebagai 'keabadian' (immmortality) tidak lain dari kaedah 'sibernatik' dalam mempertahankan 'kapasiti' signal yang unik pada diri seseorang. Dan, itulah yang disebut 'jiwa'. Terdapat berbagai jenis 'jiwa', sebagaimana terdapat berbagai cara menyimpan dan mengkomunikasikan data: DNA adalah 'jiwa' molekul, otak adalah 'jiwa' sistem saraf. Elektron yang disimpan adalah 'jiwa' silikon, 'nano-teknologi' menciptakan 'jiwa' atom. Dan, semua 'jiwa' tersebut dapat 'diabadikan' di dalam sistem komputer.
Ketiga, persoalan 'Tuhan'. Di sini optimisme yang berkembang di kalangan siberis adalah mengenai telah beralihnya peranan 'tuhan' tersebut pada teknologi informasi. Lihatlah obsesi seorang 'guru' siberis seperti Mark Pesce: "Mari kita menjemput dewa ke dalam cyberspace. Mari kita ciptakan tempat untuk makhluk suci di cyberspace". Dalam hal ini, mereka tidak lagi melihat komputer sebagai sarana komunikasi untuk menyampai ajaran-ajaran 'ketuhanan', tetapi "komputer sebagai tuhan". Yang menjadi persoalan adalah, bahawa bila kekuatan "tuhan" ini memang ada di dalam cyberspace, tentunya ia mampu menciptakan 'saringan' atau "kanal-kanal" ('wahyu', adab, moral, etika) di dalamnya, yang mengarahkan umat manusia ke arah kebaikan. Akan tetapi, semuanya itu tidak pernah menjadi perhatian, disebabkan ideologi 'dekonstruksi' yang melandasinya. Oleh sebab itulah, apa yang disebut 'tuhan' oleh para siberis ini, sesungguhnya tidak lain dari apa yang disebut di dalam istilah Pascamoden sebagai The Holy Ghost - Tuhan Suci berwajah menakutkan.
Gambaran ekstrem 'ketuhanan' para siberis ini telah dikritik oleh Jeff Zaleski dalam bukunya Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia (1997) yang melontar kritikan 'pedas' terhadap para siberis yang menamakan diri mereka sebagai "Net Religionist", orang-orang yang mempunyai obsesi "ingin jadi Tuhan". Mereka adalah orang-orang yang percaya bahawa dunia 'fikiran' dapat dimuat atau dibuatkan 'simulasi'nya dalam komputer. Mereka percaya bahawa masa depan manusia tidak berada di 'dunia nyata' (real life) tetapi di dalam berbagai bentuk "realiti kemayaan' (virtual reality) dan cyberspace adalah sebuah bentuk 'lebih tinggi' dari 'dunia spiritual'. Mereka percaya melalui teknologi komputer, mereka seakan-akan mencipta 'gerakan kenabian' menurut versi mereka sendiri. Walaubagaimana pun, Zaleski percaya cyberspace dapat menjadi wahana yang baik dan berkesan dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama dan meningkatkan kualiti pemahaman agama di dalam masyarakat global. Sikap yang diambil oleh Zaleski, nampaknya cukup 'moderat', dalam pengertian ia mengambil sebuah 'jalan tengah' untuk mengatasi berbagai paradoks dan kontradiksi yang ada dalam cyberspace. Dengan kata lain, Zaleski mengambil sisi baik dari 'teknologi'nya, tetapi menolak sisi gelap 'ideologi' di baliknya.
Sebenarnya obsesi para siberis untuk memisahkan 'spirit' dari tubuh merupakan asumsi falsafah yang keliru, yang berdasarkan pada prinsip dualisme mind/body yang menghantui falsafah Barat sejak Plato. Tubuh dan jiwa tidak terpisah, ianya merupakan satu 'kesatuan'. Berpisah tubuh dan jiwa hanyalah dalam 'kematian'. Dalam hal ini, mengkingkari 'kematian' sama ertinya dengan mengingkari berpisahnya 'ruh' dari 'tubuh', yang sebelumnya adalah sebuah kesatuan yang tidak terpisah. Pengingkaran terhadap 'kematian' untuk menuju ke arah 'keabadian' melalui teknologi cyberspace pada kenyataannya merupakan warisan dari tradisi Gnosticisme (mistikal/kerohanian) dalam wacana keagamaan di Barat. Warisan Gnosticism itulah yang cuba dicapai oleh para siberis, yakni berupa keinginan untuk memisahkan 'jiwa' dari 'tubuh' melalui cyberspace, dalam rangka mencapai 'keabadian'. Konsep going-outside-the-body atau download fikiran atau simulasi fikiran ke dalam komputer lalu digunakan untuk menjelaskan proses 'keabadian' tersebut.
Sebagai sebuah 'wadah' bagi dunia 'spiritual', cyberspace pada kenyataannya tidak menyediakan ruang untuk konsentrasi, renungan atau kekhusyukan sebagai nature dari kesedaran dalam dunia 'spiritual'. Hal ini disebabkan, bahawa perhatian dan 'kesedaran' di sana lebih terserap oleh teknologi dan kesan-kesan khusus (special effects) yang tercipta di dalam teknologi medianya sendiri, yang kerangka penciptaannya bersandar model 'kecepatan' (speed), 'kesegeraan' (instant) dan 'kesinambungan arus (continuing flow) pergantian imej. Kekhusyukan tidak akan pernah diperolehi di dalam 'ketergersaan', 'kepanikan' atau 'histeria' yang timbul dari kecepatan operasional dan pergantian imej. Di dalam cyberspace, justeru kepanikan, histeria, obsesi akan kecepatan operasional itulah yang menguasai kesedaran, yakni keterpesonaan terhadap kompleksiti teknologi informasi, keberanekaragaman imej yang dihasilkannya, keanehan 'visual' yang dimunculkannya, kecepatan waktu operasinya, kedangkalan permukaan citra yang ditampilkan - semuanya menjadi selubung yang menutupi 'getaran-getaran' spiritual. Yang berkembang bukanlah daya 'spiritual', melainkan 'ekstasi kecepatan', 'ekstasi permainan' atau 'ekstasi special effects'. Dunia cyberspace tidak lebih dari sebuah 'simulasi': sebuah dunia 'kepalsuan', sebuah kecerdasan kepalsuan' (artificial intelligence) ciptaan manusia melalui teknologi komputer adalah kesombongan kerana merasa mampu 'mengendalikan dunia'; satu kesombongan yang mengikis 'daya spiritual yang sejati'. Mengembara di dalam cyberspace, tidak ubahnya seperti pengembara yang berpacu di sebuah 'sirkuit', yang hanya terobsesi oleh kecepatan dan percepatan operasional. Mekanisme cyberspace, sebagaimana mekanisme 'kapitalisme' atau mekanisme 'sirkuit hasrat' (desiring circuit) adalah mekanisme yang di dalamnya diciptakan 'ketidakpuasan abadi hasrat'. Orang ditentukan untuk selalu merasa tidak puas dengan apa yang ditampilkan untuk segala hal: orang selalu menanti gambar yang mengasyikkan, ejekan yang lebih nakal, game yang lebih menghanyutkan, informasi yang lebih baru, rangsangan tubuh yang lebih menghairahkan, godaan yang lebih berani, kekuatan yang lebih besar, kekuasaan yang lebih luas, oleh kerana - sebagaimana yang terjadi di dunia nyata - dunia cyberspace adalah juga dunia yang dibentuk dan dikonstruksi secara sosial oleh apa yang disebut sebagai ideologi 'kapitalisme global', dengan segala hukum komoditi, imej dan kecepatannya - the Cyber-capitalism.
Cyberspace, dalam wujudnya sekarang, sesungguhnya tidak lebih dari sebuah 'mesin besar hasrat kapitalisme (the great capitalist desiring machines), yang memenjarakan setiap orang dari sebuah hasrat ke hasrat berikutnya, tanpa ada batas, tanpa pernah merasa puas. Cyberspace adalah 'sebuah sirkuit hasrat' yang tidak ada hujungnya, yang di dalamnya tidak ada tempat untuk refleksi, renungan, untuk berhenti sejenak. Padahal, renungan dan refleksi adalah inti dari 'kebangkitan' daya 'spiritual' yang sejati. Cyberspace, sebalikya menjadi tempat yang ampuh untuk menghancurkannya. Ia memang dapat menjadi saluran komunikasi antara umat, tetapi ia bukanlah menjadi 'saluran spiritual'. Adalah sebuah kesombongan untuk menyamakan cyberspace sebagai sebuah bentuk 'spiritual'.
Cyberspace memang menjanjikan berjuta pengalaman dan panorama yang mempesona: di dalamnya tidak ada hukum ruang dan waktu, tidak ada usia, tidak ada batas-batas, tidak ada yang menghalang untuk 'terbang' dan 'berlayar'. Ia menjanjikan berjuta 'permainan hidup' yang menarik dan menghanyutkan. Akan tetapi, berjuta permainan tersebut dapat menjadi permainan hidup berbahaya yang penuh jebakan dan 'virus'. Dan, salah satu dari jebakan tersebut adalah rasa 'mengalir' yang dibangun di dalamnya, yang dilandasi oleh mekanisme 'operasi kecepatan pergantian' dan hasrat-hasrat yang bersifat sekular. Namun, menolaknya membuat kita tertindas. Dalam hal ini, 'jalan tengah' yang diusulkan oleh Jeff Zaleski, nampaknya adalah jalan yang paling realistik, iaitu menerima cyberspace sebagai sebuah 'kemajuan teknologi', tetapi menolak 'kegilaan ideologi' dibelakangnya serta membungkam rasa 'obsesi teknologi yang melampau'. Jalan ini tentunya jalan yang tidak popular, atau tidak 'revolusioner', di dalam arus deras 'siberrisasi' (cyberization) yang melanda dunia hari ini.