AKHIRNYA HASAN DITEMBAK -PART 2

AKHIRNYA HASAN DITEMBAK -PART 2

Pada hari tersebut, Hassan al-Banna bersama Abdul Karim Mansur (iparnya), seorang pengacara dan suami adik perempuannya berada di kantor Ikhwanul Muslimin. Sementara menunggu kedatangan Zaki Ali Basya, seorang menteri yang ingin berunding dengan pemimpin Ikhwan tersebut. Selepas sholat, mereka memutuskan  untuk pulang ke rumah setelah sekian lama menunggu Zaki Ali Basya yang tidak kunjung tiba dan tanpa sebarang berita akan kehadirannya.  Ketika sedang menaiki taksi, beberapa tembakan telah dilepaskan menyebabkan keduanya cedera parah. Hassan al-Banna dilaporkan telah ditembak sebanyak tujuh butir peluru namun masih mampu bangkit berjalan memasuki ke kantor untuk membuat panggilan memohon bantuan ambulans. Pada saat dibawa ke rumah sakit, Jenderal Muhamad al-Jazzar yang mengkontrol seluruh proses rawatan tersebut telah memerintahkan agar pihak rumah saikt tidak melakukan pertolongan medis dan membiarkan Hassan al-Banna berada dalam kesakitan. Pukul 12.05 malam, Hassan al-Banna meninggal dunia akibat pendarahan. 

Berita kematian Hassan al-Banna kemudiannya disampaikan kepada ayahnya, Syeikh Ahmad Abdul Rahman yang ketika itu sudah berusia lebih 90 tahun. Syeikh Ahmad telah diberikan dua pilihan oleh pihak polisi, yaitu menguruskan sendiri pemakaman jenazah Hassan al-Banna pada pukul 9.00 pagi nanti dengan tidak mengadakan upacara pengkebumian. Pilihan kedua ialah, menyerahkan kepada polisi untuk mengurus pemakaman jenazah Hassan al-Banna tanpa memberikan peluang anggota keluarga melihatnya buat kali terakhir. Akhirnya, Syeikh Ahmad membuat keputusan untuk menguruskan sendiri pemakaman jenazah anaknya itu tanpa dibantu oleh siapapun kecuali dengan bantuan tiga orang anak perempuannya.

Polisi tidak memberikan bantuan, hanya menyerahkan mayat tersebut untuk diuruskan oleh Syeikh Ahmad. Dengan penuh kesabaran, Syeikh Ahmad dan tiga anak perempuannya mengusung jenazah Hassan al-Banna. Setelah dimandikan dan dikafani oleh mereka sendiri, kemudian dibawa ke Masjid al-Qaisun untuk disembahyangkan. Sebelum jenazah itu tiba di perkarangan masjid, polisi memerintah orang yang ada di dalam masjid supaya meninggalkan masjid. Syeikh Ahmad sendirian menunaikan sholat jenazah putera sulungnya.  Proses pengkebumian tersebut berhadapan dengan berbagai rintangan, dan ini dicatatkan oleh Ibrahim Siraj seperti berikut: 

“Kendati ditimpa musibah dan meski lanjut usia, sang kakek menangani sendiri mayat anaknya itu untuk dikuburkan. Dia mengusap darah di tubuh anaknya, setelah sebelumnya bekas peluru menghempaskan tubuhnya…Jasad yang dibawa isteri serta anak perempuannya itu mendekati jalan, dan dibelakangnya hanya ada ayahnya, serta orang-orang yang memberanikan diri ikut mengantarkan jenazah. Jenazah itu kemudian sampai di sebuah masjid untuk dishalatkan. Namun di masjid tidak ada siapa-siapa, bahkan tak ada orang yang bisa diminta untuk membantunya. Sang ayah dan anggota keluarga dari kalangan wanita yang di belakangnya menshalatkannya. Kemudian mereka menurunkannya ke kubur. Lalu mereka semua kembali dalam pengawasan yang ketat.”

Selama pernikahan Hassan al-Banna dengan Latifah, mereka dikaruniai lima orang anak perempuan, yaitu Sana’, Wafa’, Raja’, Hajir dan Istisyhad; dan seorang anak lelaki bernama Ahmad Saiful Islam. Anak perempuan bungsu, Istisyhad dilahirkan ketika Hassan al-Banna mati syahid dan Saiful Islam berumur 14 tahun. Wafa’ kemudian menikah dengan Said Ramadhan, yang kemudian  memimpin Ikhwanul Muslimin manakala Hajir menjadi dosen di Universitas  al-Azhar dan Saiful berhasil menjadi pengacara.

B. Pendidikan Hassan al-Bana

Zulkifli Mohamad al-Bakri dalam bukunya Al-Syahid Hassan a-Banna: Pengasas Ikhwanul Muslimin membagikan fase pembelajaran Hassan al-Banna kepada empat, yaitu permulaan, persekolahan, ma’had dan universitas.  Pada peringkat awal, Hassan al-Banna dibimbing oleh orangtuanya, Syeikh Ahmad Abdul Rahman al-Banna, lulusan dari Universitas Azhar, dalam bidang hafalan al-Qur’an. Atas ketegasan orangtuanya, Hassan al-Banna telah menghafal al-Qur’an ketika usia yang masih muda. Tingkat pendidikan Hassan al-Banna dimulai dari jenjang pendidikan Madrasah al-Rasyad al-Dinniah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad Zahran. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1915 setelah menerima sumbangan dana masyarakat agar mereka mendapat pendidikan agama.  Mata pelajaran yang diajar di situ ialah penulisan, nahwu, latihan praktik, studi kesusasteraan, latihan bacaan dan kajian puisi serta peribahasa. Meskipun tidak pernah menerima latihan dalam bidang ilmu pendidikan, Syeikh Muhammad Zahran dianggap sebagai seorang guru yang berhasil dan senantiasa membentuk hubungan mesra dan akrab dengan para pelajarnya. Dari segi fisik, Syeikh Muhammad Zahran adalah buta, tetapi ketinggian ilmu dan kebijaksanaannya mengajar telah menyebabkan madrasah yang didirikan itu mendapat perhatian khalayak umum.

Hassan al-Banna menekuni pendidikan di sekolah tersebut selama empat tahun, dari usia 8 hingga 12 tahun. Menurut Hassan al-Banna, Syeikh Muhammad Zahran:

“menguasai teknik mengajar dan mendidik yang efektif dan membawa hasil, meskipun ia tidak pernah belajar ilmu-ilmu pendidikan dan tidak pernah mendapatkan kaedah-kaedah ilmu psikologi. Beliau lebih banyak bersandar pada kebersamaan hati nurani antara dirinya dengan murid-muridnya. Beliau sangat berhati-hati dalam menghadapi mereka dengan selalu menaruh kepercayaan kepada mereka dan memberikan hukuman yang mendidik atas tindakan buruk mereka, yang hal itu akan menimbulkan keridhaan dan kegembiraan di dalam jiwa.”

Syeikh Muhammad Zahran banyak mempengaruhi sikap dan peribadi Hassan al-Banna dengan menanamkan semangat perbincangan ilmiah. Hassan al-Banna seringkali dibawa oleh Syeikh Muhammad Zahran. Untuk mendapatkan buku-buku yang baik sebagai materi bacaan di perpustakaan sekolah, Hassan al-Banna senantiasa ikut sama memilihnya dan dilibatkan dalam banyak wacana ilmu. Setelah  adanya pergantian pemimpin sekolah, yaitu apabila Syeikh Muhammad Zahran tidak dapat memberikan tumpuan ke atas madrasah yang didirikan itu,  Hassan al-Banna berpindah ke Madrasah Ibtida’iyah. Madrasah itu kemudiannya diambilalih oleh Kementerian Pendidikan, sementara Syeikh Muhammad Zahran mencurahkan keseluruhan hidup barunya dalam bidang dakwah.

Ketika berumur 13 tahun, Hassan al-Banna mempunyai dua pilihan untuk melanjutkan pelajaran peringkat ma’ahad, yaitu Ma’had Diniyah yang mempunyai hubungan langsung dengan Universitas al-Azhar. Pilihan kedua ialah memasuki Pusat Latihan Guru Damanhur agar supaya mendapat ijazah perguruan. Akhirnya Hasan Al Banna memilih Pusat Latihan Guru Damanhur. Setelah belajar selama tiga tahun, Hassan al-Banna sukses mendapat hasil ujian yang cemerlang dan diterima menjadi guru oleh Kementerian Pendidikan. Hassan al-Banna pada awalnya merencanakan untuk melanjutkan pelajaran ke Darul Ulum (Universitas Kairo), tetapi disebabkan adanya peraturan khusus dari segi umur, pihak universitas telah merubahnya setelah mengetahui potensi  yang besar dalam diri Hassan. Ketika berada di Darul Ulum, Hassan al-Banna belajar ilmu-ilmu modern saperti pendidikan, psikologi, filsafat, politik, sosiologi, matematika dan Ilmu Bahasa. Setelah diterima belajar di Darul Ulum, orang tua Hassan al-Banna ikut pindah ke Kairo. Pada tahun 1927, Hassan al-Banna lulus dari program sarjana satu dan ia diterima sebagai  guru terlatih.

Menurut catatan peribadinya, Hassan Al-Banna “ Ia bingung menghadapi pilihan” apakah ingin meneruskan kuliah di luar negeri atau sebaliknya. Disebabkan oleh “kecintaan meningkatkan ilmu pengetahuan” dan “kejemuan terhadap beberapa fenomena yang ada, Hassan membulatkan hasrat yang kuat untuk bekerja.”  Akhirnya ia memperoleh tempat apabila Darul ‘Ulum tidak mencalonkan orang lain untuk melanjutkan kuliah pada tahun tersebut. Karena jumlah yang lulus terlalu banyak sedangkan kuota calon guru dari kantor Pendidikan adalah berjumlah delapan orang untuk ditempatkan di Kairo, Hassan al-Bana akhirnya ditawarkan mengajar di Isma’iliyyah, sebuah kota yang terletak di Terusan Suez. Mengenai penempatan tersebut, Hassan Al-Banna memaparkan:

“Pada hari Senin, 19 September 1927 (sayang, saya tidak ingat kalendar Hijriahnya), kawan-kawanku berkumpul dalam rangka mengantar salah seorang sahabat mereka yang akan berangkat ke Ismailiyyah untuk menunaikan tugas baru, yaitu mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri….Sebagai seorang guru baru, saya menghabiskan waktu di antara masjid, madrasah, dan rumah. Saya memang tidak berusaha bergaul dengan orang lain dan tidak berkenalan selain dengan sahabat-sahabat sesama guru, ketika sama-sama mengajar. ”

Dari penjelasan yang diutarakan al-Banna di atas terlihat betapa seriusnya dia dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Ia berusaha menghindar dari aktivitas yang tidak bermanfaat, terutama terhadap dunia pendidikan saat itu. Dengan fokus pada pekerjaan, maka tujuan yang akan direncanakan akan tercapai secara maksimal.

C. Aktivitas Sosial Keagamaan

Pada saat berada di tahun akhir di Darul Ulum, Hassan al-Banna telah menjelaskan rencananya nanti apabila tamat belajar, ia akan melakukan pembaharuan pranata sosial dalam masyarakat sebagaimana diceritakan oleh Syeikh Najati:

“Saya berpendapat seorang yang baik akan mencari kebahagiaan dan panduan dengan berkhidmat kepada manusia. Dia merasa gembira apabila dia berupaya menghilangkan kesusahan orang dan membuat orang lain gembira. Dia sanggup berkorban untuk pembaharuan masyarakat sebagai keuntungan hakiki bagi dirinya. Dia berjihad bagi menghadapi kesulitan dan kesusahan dengan tabah dalam menegakkan kebenaran dan hidayah.

Dia juga mencoba menyelamatkan hati manusia dengan merasakan penyakitnya. Dia mengkaji ciri-ciri yang mengakibatkan kemerosotan akhlak dan masyarakat. Dia berusaha untuk menegakkan peraturan masyarakat Islam yang lebih baik. Dia memberikan kasih sayang terhadap manusia. Dia berusaha sebanyak mungkin untuk meringankan penderitaan manusia dan mencipta suasana yang bisa membantu mereka menjalani kehidupan yang bahagia. Dia juga berusaha memimpin mereka yang telah sesat ke jalan yang benar.”

Hassan al-Banna yakin bahwa sesuatu tindakan yang terbaik ialah yang dapat memberikan manfaat kepada semua orang, termasuk diri sendiri, orang lain dan negara. Pandangan itulah yang menjadi pegangan dalam setiap bentuk perjuangan hidupnya untuk menjadi “guru dan pendakwah.” Sebagai seorang pendidik, jiwanya senantiasa berusaha memberikan cahaya kepada orang lain dan dirinya adalah ibarat lilin. Tujuan utama setiap orang ialah mendapatkan keredhaan Allah SWT dan dalam menuju cita-cita mulia, seseorang itu mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama ialah mengikuti falsafah sufi, kedua melalui pendidikan dan dakwah. Kedua jalan ini dapat dicapai kerana adanya persamaan kecuali pada tahap keikhlasan dan amalan. Liku-liku yang harus dilalui ialah hubungan sesama manusia, kajian mengenai manusia dan institusi yang berhubungan dengannya, penglibatan dalam aktivitas kemasyarakatan, dan mencari jalan untuk menyelesaikan masalah penyakit masyarakat.  Mereka yang mencapai ketinggian ilmu dan berpandangan jauh tentunya akan memilih jalan kedua.

Sebagai orang yang beriman, Hassan al-Banna senantiasa berseru “Jika kau ingin mencapai kesempurnaan sembahlah Allah saja dan jauhkan menyembah benda-benda lain. Jika kau mencari kebenaran, maka kau mendapati setiap benda lain tidak berakal. Yang kekal hanya Allah.”  Sebagai seorang yang pandai menyusun  strategi berorganisasi, Hassan al-Banna menyalurkan dakwahnya melalui berbagai bentuk pergerakan, bermula sejak ia masih di bangku sekolah sehingga mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin pada tahun 1927, ketika berusia 23 tahun. Bertempat di Ismailiyyah, Hassan al-Banna bersama adik dan lima orang sahabatnya berkumpul bersumpah setia untuk hidup dan mati kerana Islam. Kondisi sosial lingkungan Ismailiyyah yang dikontrol oleh Zon Terusan (Canal Zone) dan menjadi pusat pemerintahan perusahaan Terusan Suez, yang dikuasai oleh penjajah British, terdapat sebuah asrama tentara dan rumah-rumah kediaman pekerja Barat, sementara  rakyat tempatan hanyalah sekadar buruh kasar.

Setelah pembentukan organisasi Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna menyewa sebuah ruangan di Perpustakaan Syeikh Alias Syarif di Jalan Syare Faruq, untuk dijadikan tempat menyimpan dokumen dan tempat musyawarah dengan upah 60 qursh sebulan. Selepas waktu asar hingga larut malam, tempat itu digunakan sebagai ruang sekolah apabila murid yang menggunakan perpustakaan pulang ke rumah. Program yang dinamakan sebagai dirasah Islamiyah (studi keislaman) telah diperkenalkan dengan memberikan penekanan memperbaiki bacaan al-Qur’an di mana apabila seseorang menghafalnya, yang lain akan memberikan perhatian kepada hukum-hukum tajwid.  Sekolah itu dinamakan sebagai Madrasah Tahzib dan telah berhasil merekrut kader-kader awal Ikhwanul Muslimin. Antara tahun 1927 hingga 1928, sebanyak 70 anggota telah berjaya dihasilkan.

Dalam memimpin gerakan dakwah, Hassan al-Banna telah memainkan peranan yang amat banyak dalam berbagai aktifitas organisasi. Ketika dalam usia dini, ia telah menerima pendidikan dasar dari ayahnya, Syeikh Ahmad Abdul Rahman al-Banna, telah menunjukkan rasa kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketika menuntut di sekolah, ia membentuk sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai Jam’iyah al-Akhlak al-Adabiyah, yang bertujuan memupuk akhlak mulia para murid. Disebabkan kegiatannya masih terbatas, ia selanjutnya membentuk sebuah lagi persatuan di luar sekolah dan dinamakan Jami’yah Insidad al-Muharramat. Persatuan ini berusaha untuk mendidik masyarakat agar tidak terlibat dengan berbagai bentuk budaya yang bertentangan dengan Islam. Di antara kegiatan utamanya ialah menulis surat kepada penduduk kampung agar dapat mengamalkan cara hidup Islam agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Pada saat Hassan al-Banna masih belajar di Mahmudiyah, melihat sebuah patung kayu bugil berada di sebatang tiang sebuah kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Mahmudiyyah. Oleh kerana tempat tersebut merupakan kawasan lalu-lalang golongan wanita, ia terus menuju ke kantor polisi terdekat untuk membuat laporan. Setelah menerima laporan, pegawai polisi menuju ke tempat kapal itu berlabuh dan menemui krew dan memerintahkan agar patung tersebut diturunkan. Keesokannya, polisi hadir ke sekolah dan memuji sikap yang ditunjukkan oleh Hassan al-Banna.

Ketika berada di Sekolah Latihan Perguruan Damanhur, Hasan al Banna bertemu dengan anggota tarekat Hasafiyah dan kemudian menjadi anggota tarikat untuk mendalami kerohanian. Melalui aktivitas kesufian itu, Hassan al-Banna bertemu dengan seorang saudagar sufi bernama Syeikh Muhammad Abu Syousya, dan dari pergaulan itu, Hassan al-Banna setiap minggu dibawa menziarahi kubur untuk mengingatkannya tentang kematian. Ini menimbulkan kesadaran yang mendalam dan seterusnya dijadikan bahan penting dalam membangun nilai kesadaran kerohanian sepanjang dakwah yang dilaksanakan berikutnya.

Setelah organisasi Ikhwanul Muslimin terorganisir dengan baik ia menyusun pembaharuan. Pada tahun 1935, Hasan Al Banna mulai aktif dalam dunia politik. Pada tahun 1938, Ikhwanul Muslimin menjadi sebuah gerakan revolusi, dengan menekankan kepada perubahan dalam bidang pendidikan, ekonomi, kemasyarakatan dan politik sesuai dengan agama Islam.

D. Gerakan dan Aktivitas Politik

Suasana masyarakat Mesir pada awal abad kedua puluh, terutamanya sebelum kelahiran Hassan al-Banna begitu menantang setelah penguasaan Dinasti Usmaniyah yang berpusat di Turki berada dalam keadaan yang lemah. Pada saat pemerintahan Sultan Abdul Hamid II (21 Sept 1842-10 Feb., 1918) , kebangkitan kelompok zionisme untuk mendirikan sebuah negara Israel sudah mulai mendapat perhatian negara-negara Barat, terutamanya Inggeris dan Perancis. Pada tahun 1789, Mesir telah dikuasai oleh Napoleon Bonaparte dan kemudiannya menguasai Syam, Gaza, Ramallah, Yafa dan berhasil mendirikan benteng di ‘Uka. Pada tahun 1830, Perancis berjaya menguasai Aljeria dan diikuti Tunisia, Moroko (1912) manakala Itali menjajah Libya (1911). Seluruh kedudukan Afrika Utara dikuasai oleh penjajah dan sistem pemerintahan khalifah yang ditegakkan sejak hampir empat belas kurun telah berhasil dihancurkan.

Perkembangan tersebut telah memberi perubahan terhadap pemerintahan negara-negara yang pernah menjadi kawasan pemerintahan Islam dan dengan terkuburnya khalifah Usmaniyah, Mesir telah dijajah sepenuhnya oleh Inggeris. Setelah tamatnya pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, negara-negara Islam telah dipecahkan kepada beberapa pengaruh oleh penjajah Barat dan Amerika Syarikat. Hakikat itu turut memberikan efek kepada pemberontakan pemikiran sehingga melahirkan pemikiran yang syaz dan menyeleweng dari dasar Islam.

(bersambung)

AKHIRNYA HASAN DITEMBAK -PART 3 (AKHIR)

Hubungi Kami

Alamat:
No.5B, Jalan 3/70 Damai Point, Seksyen 3, 43650 Bandar Baru Bangi. Selangor

Telefon: +60 17-377 7732
Email: alfalahmadani2022 [@] gmail.com

Jumlah Pengunjung

035496
Hari ini: 18
Minggu Ini: 1,209
Bulan Ini: 9,292
Tahun Ini: 35,496
Tahun Lepas: 5,538
Image

Alfalahmadani.my merupakan sebuah portal yang bertanggungjawab untuk bertindak sebagai penampan bagi setiap tuduhan, fitnah, kekeliruan, ketidakfahaman dan kecelaruan yang berlegar di minda rakyat. Sama ada isu-isu yang timbul secara organik di media sosial, ataupun yang didorong sebagai naratif oleh pihak-pihak tertentu,

Alfalahmadani.my akan menjawab setiap permasalahan dengan pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Tentunya, kehadiran Alfalahmadani.my bukan berhasrat menyatakan kesempurnaan pemikiran, tetapi sebagai wahana untuk menuju kesempurnaan pengetahuan dalam konteks pemikiran semasa, dan kebijaksanaan yang mampu diusahakan.