Seorang sejarahwan Mesir, Qasim Amin yang menulis dua buah buku mengenai perubahan pemikiran Islam mengenai wanita akibat penularan konsep emansipasi Barat memberi dampak yang besar yang menimpa Mesir dalam tempoh 50 tahun. Memakai kerudung bukanlah praktik yang mempunyai kaitan dengan Islam dan beliau melihat kehidupan wanita Mesir menyerupai wanita Inggeris atau Perancis. Qasim Amin juga melihat bahwa faktor kemunduran Islam adalah disebabkan oleh pengaruh keluarga, peraturan hijab (hubungan antara lelaki dan wanita) dan dasar-dasar perundangan Islam. Kecaman Qasim Amin itu memberikan gambaran bahwa betapa segolongan cendekiawan Mesir sudah mula meresap masuk faham sekular yang dibawa oleh penjajahan Barat, yang pada periode kekuasaan Islam berada dalam “zaman kegelapan” akibat kungkungan gereja. Dalam situasi krisis nilai budaya dan kebuntuan pemikiran cendekiawan Muslim di Mesir, Hassan al-Banna menemukan ide dan gerakan tajdid dakwah untuk mengembalikan kegemilangan Islam. Tugas dan tanggungjawab ini merupakan satu perjuangan yang besar, Hassan al-Banna telah bertekad untuk mengembalikan masyarakat dengan nilai-nilai Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.
Dalam usia muda Hassan Al-Banna telah memiliki “semangat berjuang untuk Islam”. Pada usia dua belas tahun, ia memimpin sebuah organisasi Latihan Akhlak dan Jemaah al-Suluki al-Akhlaki di sekolah. Ia juga menghadiri majlis-majlis zikir yang dilaksanakan oleh kaum sufi al-Ikhwan al-Hasafiyyah. Ketika berusia 16 tahun, pada tahun 1922, Hassan al-Banna diterima menjadi anggota tarekat Hasafiyah.
Ketika berumur 13 tahun, Hassan Al-Banna telah melibatkan diri dalam satu protes menentang penjajahan British. Pada tahun 1922, ketika berada di Kairo dan masih belajar di Darul Ulum, Hassan al-Banna mengalami benturan budaya apabila melihat betapa cepat tersebarnya pengaruh Barat dalam masyarakat Mesir yang semakin ramai kaum atheis dan penganut Kristian. Sementara organisasi-organisasi politik mengambil pendekatan sekular, sasterawan dan pertubuhan sosial bertukar corak kepada pendekatan filsafat kebebasan Barat yang menidakkan kehadiran pengaruh agama.
Suasana budaya baru itu yang menjadi menjadi titik tolak pemikiran Hassan Al-Banna untuk membangun semula pengaruh Islam dan kepentingan nilai-nilai tradisi dalam masyarakat Mesir. Ia juga melihat keadaan ini sebagai kegagalan sarjana Islam di Universitas Al-Azhar untuk mengekang aliran tidak mempercayai Tuhan dan usaha kristenisasi yang semakin meluas. Suasana itu turut mendorong Hassan Al-Banna untuk mengambil bagian dalam organisasi Jama’atul Makram al-Akhlak al-Islamiyyah untuk membantu memperbaiki sikap terhadap Islam. Dakwah itu dikembangkan melalui berbagai bentuk ceramah di tempat-tempat yang menjadi tujuan khalayak umum termasuk kedai kopi Hasilnya, Hassan Al-Banna bertemu dengan beberapa orang tokoh Islam terkemuka, antaranya Muhibbuddin al-Khatib, Muhammad Rashid Riddha dan Farid Wajdi.
Mulai akhir tahun 1927 hingga awal tahun 1928, Hassan Al-Banna mempelajari secara mendalam mengenai keadaan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka. Mengenai tokoh-tokoh tarekat yang ada di Ismailiyyah, Hassan Al-Banna menyebutkan “jumlahnya cukup banyak” antaranya Syeikh Hassan Abdullah al-Musalmi, Syeikh ‘Ubud As-Syadzali, Syeikh Abdul Wahab Ad-Dandarawi dan setelah berkenalan dengan Syeikh Abdurrahman Saad, pengganti Syeikh Al-Hashafi, akhirnya tertarik untuk menerima tarekat Hashafiyah. Di Ismailiyyah, Hassan Al-Banna menyumbangkan dakwahnya dengan mengajar di kelas-kelas malam agar keluarga para pelajarnya memahami agama. Walau bagaimanapun, disebabkan kaedah dakwah yang berbeda dan pendapat yang berlainan, Hassan Al-Banna mendapat tantangan dari elit agama setempat pada peringkat awal. Keadaan ini kemudiannya berubah apabila Hassan Al-Banna membuat pendekatan yang halus untuk mengelakkan tindakan kontroversial.
Pada tahun 1946 Hassan Al-Banna mengundurkan diri sebagai guru setelah 19 tahun mengajar agar dapat konsentrasi pada kegiatan dakwah dan politik. Ketika itu, Ikhwanul Muslimin semakin mendapat perhatian dan berkembang ke seluruh pelosok Mesir dan Timur Tengah. Akibat dari perencanaan yang jelas dan sistem pengurusan yang efektif, pada tahun 1948, organisasi tersebut dilarang manakala beberapa orang pemimpinnya ditangkap. Lebih dari itu, Hassan al-Banna ditembak oleh seseorang yang dilihat mempunyai kaitan dengan otoritas militer atas perintah partai pemerintah. Bagaimanapun, pengaruh Ikhwanul Muslimin terus berkembang sehingga mengganti perjuangannya menjadi lebih keras apabila kematian Hassan al-Banna menjadi inspirasi pendukungnya di bawah kepimpinan Syed Qutb.
Kaedah dakwah Hassan al-Banna, yaitu perjuangan menegakkan kesucian Islam dan membendung arus kebudayaan Barat, telah memulai gerakan dakwah sejak ia dibangku sekolah. Selepas tamat pendidikan tinggi, Hassan al-Banna yang bertugas sebagai guru di sebuah bandar yang terletak di Terusan Suez, Ismailiyyah dengan gigihnya membina organisasi Ikhwanul Muslimin pada tahun 1930. Anggota Ikhwanul Muslimin telah mencapai angka sejuta orang. Ikhwanul Muslimin telah menjadi platform yang kuat sehingga pemerintah Mesir melarang keberadaannya. Meskipun dilarang, ideologi politik Islam terus dikembangkan di bawah kepimpinan Syed Qutb sehingga ia dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah. Ikhwanul Muslimin tidak mati, tetapi terus berkembang. Sebagian pemimpin utamanya telah melarikan diri ke negara Arab yang lain dan melintas ke Eropa.
Setelah meletusnya kemarahan rakyat pada akhir Desember 2010, Ikhwanul Muslimin muncul sebagai sebuah organisasi social politik yang paling sistematik. Ini bermakna, pengaruh Ikhwanul Muslimin telah sampai ke perbatasan Afrika Utara, Arab dan juga mempengaruhi beberapa organisasi politik Islam di Asia Tenggara, India, Pakistan dan gerakan sosial di Eropah dan Amerika Syarikat. Ketika Turki berhadapan dengan kebangkitan Young Turk di bawah pimpinan Mustafa Kamal Atartuk, Mesir menjadi wadah perjuangan kebangkitan Islam .
Organisasi Ikhwanul Muslimin pada dasarnya adalah sebagai gerakan keagamaan untuk memperbetulkan akidah umat Islam di Ismailiyyah yang banyak dipengaruhi oleh budaya Barat. Sikap kepimpinan Mesir yang mengikuti telunjuk Inggeris telah menyebabkan berlakunya konflik kosmik. Dalam upaya membendung pengaruh penjajahan, Ikhwanul Muslimin menetapkan pandangan bahwa Islam adalah suatu sistem hidup yang lengkap dan mencakupi semua bidang kehidupan termasuk politik. Politik yang dibangun adalah berkaitan dengan urusan pemerintahan, sistem kenegaraan, hubungan antara pemerintah dengan rakyat, hubungan antarabangsa, baik dengan negara Islam ataupun bukan negara Islam, hubungan dengan penjajah dan sebagainya. Politik mulai menjadi bahagian daripada program Ikhwanul Muslimin, tujuannya ialah “membentuk pemerintahan yang melaksanakan syariat Islam.”
Menurut al-Jabary (1978), Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan politik yang mempunyai beberapa prinsip, yaitu memperkukuh rasa kewajiban membebaskan tanah air Islam dari segala kekuasaan asing. Membangkitkan kesadaran tentang kewajiban mendirikan pemerintahan Islam kerana kewajiban ini merupakan perintah agama. Ikhwanul Muslimin juga membangkitkan kesadaran mewujudkan persatuan Islam yang merupakan kewajiban syari’e dan duniawi. Hassan Al-Banna menjelaskan kedinamikan Ikhwanul Muslimin yang berhasil dibangun menjadi sebuah organisasi yang tersusun dan mampu menterjemahkan wawasan perjuangan dalam kehidupan insaniah. Ikhwanul Muslimin yang berasaskan sosial, politik, agama bertujuan membentuk masyarakat madani dalam sistem kenegaraan.
Hassan Al-Banna melibatkan diri dalam demonstrasi menentang penjajahan Inggeris pada tahun 1919. Ketika pemerintahan di Mesir runtuh pada 2 Maret 1924, Hassan al-Banna cukup merasakan bahwa Islam semakin kehilangan jatidiri yang mengakibatkan krisis politik yang mendalam. Peristiwa itu terjadi ketika Hassan baru berada selama setahun di Kairo. Hasan Al Banna menuturkan:
“Sejak saya di Kairo, arus gelombang perpecahan semakin membesar dengan mengatasnamakan kebebasan berfikir. Hal yang sama terjadi terhadap moralitas masyarakat dengan mengatasnamakan kemerdekaan individu. Gelombang atheism dan hedonism benar-benar menjelma menjadi tirani yang menghanyutkan segalanya. Tidak ada satu kekuatan pun saat itu yang mampu berdiri menghadangnya untuk membantu memperbaiki situasi itu.”
Keadaan itu menjadi semakin menyemarakkan jiwa politiknya. Dia memahami bahwa ada gerakan untuk meruntuhkan keseluruhan pemerintahan Islam yang dilakukan oleh Mushtaffa Kamal at-Attartuk, yang mempunyai hubungan darah dengan Yahudi, yang bersekongkol dengan kekuatan Barat untuk menjatuhkan pemerintahan Islam di Turki, yang dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II dari Dinasti Usmaniyah. Pengaruh pemikiran Barat meluas dalam kalangan cendekiawan Islam yang menerima pendidikan liberal Eropa yang diterbitkan dalam berbagai majalah, buku dan karya terjemahan. Antara tokoh-tokoh yang dilihat oleh Hassan al-Banna begitu terpengaruh dengan nilai-nilai politik Barat ialah Sayyid Lutfi, Thaha Hussain, Ali Abdul Raziq dan Muhammad Azmi. Mereka menyebarkan propaganda memburuk-burukkan Islam dan melumpuhkan kekuatan Islam.
Adapun ancaman politik Barat yang dialami oleh masyarakat Mesir itu mendorong Hassan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin dengan harapan melancarkan gerakan mengembalikan kehidupan masyarakat Islam berdasarkan al-Qur’an. Organisasi yang bermula di sebuah kota kecil di Ismailiyyah dalam masa yang singkat berhasil mendapat perhatian masyarakat yang lebih luas sehingga dinilai semakin menjadi ancaman kepada penjajahan. Penghujung tahun 1357 H (1938) dalam muktamar pertama, Hassan al-Banna menjelaskan tujuan pendirian organisasi Ikhwanul Muslimin:
“Kita semua sudah yakin bahwa hukum dan ajaran Islam sangat universal, mengatur seluruh kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Adapun mereka yang menilai ajaran ini hanya menangani sisi ubudiyah dan ruhiyah, sesungguhnya mereka salah besar. Sebab Islam adalah akidah dan ibadah, negara dan indentitas, agama dan pemerintahan, ruh dan amal, serta al-Qur’an dan pedang (kekuatan). Kitab Allah menceritakan semua itu dan menilainya sebagai intisari ajaran Islam, sebagaimana Dia mewasiatkan agar manusia berlaku ihsan pada semua itu .
Melalui risalahnya yang lain, Hassan al-Banna memberikan garis panduan mengenai sasaran global Ikhwanul Muslimin:
“Apa yang kalian inginkan, wahai Ikhwan? Apakah kita ingin mengumpulkan harta sebagai naungan yang kelak punah? Atau kita ingin luasnya kehormatan, sedangkan ia adalah kekayaan yang akan menjadi penghalang? Atau kita menginginkan kekuasaan di muka bumi?
Oleh karena pengaruh penjajahan begitu kuat dalam struktur pemerintahan Mesir, kehidupan rakyat tidak diberikan perhatian serius, seluruh tumpuan elit hanyalah untuk memuaskan kehendak Inggeris. Akhirnya Hasan Al Banna telah menukar bentuk perjuangan Ikhwanul Muslimin dari hanya sebagai organisasi dakwah dan sosial kepada bentuk perjuangan politik. Sewaktu Mesir di bawah pemerintahan Hussain Sairi, atas permintaan Inggeris, percetakan majalan Ikhwan telah dilarang terbit dan Hassan sendiri dipindahkan dari Qana’ ke Port Said. Pertukaran ini membangkitkan kemarahan anggota parlemen Mesir dan akhirnya ia dipindahkan kembali ke Kaherah. Atas desakan tersebut, Hassan dan sekretaris Ikhwanul Muslimin ditangkap. Suasana ini menyebabkan Ikhwanul Muslimin mengeluarkan ancaman untuk menentang pemerintah dan bersiap untuk melancarkan revolusi. Setelah Hussain Sairi digulingkan pada 4 Februari 1942, Mustapha Nahhas mengambil alih pemerintahan. Hassan al-Banna berhasrat untuk mencalonkan dirinya sebagai calon parlemen untuk wilayah Ismailiyah mewakili Ikhwanul Muslimin. Atas permintaan Nahhas, Hassan dinasehatkan supaya mempelajari terlebih dahulu hasrat itu kerana Inggeris akan senantiasa mencari jalan untuk menggagalkannya, Hassan menangguhkan hasrat itu. Persetujuan itu seterusnya memberikan kesempatan kepada Ikhwanul Muslimin untuk menerbitkan kembali majalah mereka yang dicekal dari menyambung dakwah kepada kaum muslimin.
Setelah berakhirnya pemerintahan Nahhas, Ahmad Mahir dilantik sebagai Perdana Menteri, Ikhwanul Muslimin kembali ditekan dengan kerasnya. Ahmad Mahir memberikan tekanan agar Hassan Al-Banna tidak dicalonkan sebagai anggota parlemen walaupun Muktamar Ikhwanul Muslimin membuat keputusan pada tahun 1941 merestui pemimpinnya untuk memasuki gerbang politik secara serius. Meskipun telah dihalang dengan berbagai cara, akhirnya apa yang ditunjukkan oleh rakyat Ismailiyah dengan meletakkan 60 spanduk di setiap penjuru kota, akhirnya Hassan dibenarkan menjadi calon anggota parlemen. Secara halus, Ahmad Mahir dan Inggeris mencari jalan untuk tidak memberikan kemenangan kepada Ikhwanul Muslimin atas alasan menjaga kepentingan Inggeris dan memberikan kemenangan kepada calon partai Ahrar Dusturiyyin, yang pro Inggeris. Inggeris melancarkan kampanye terbuka menyokong calon selain Ikhwanul Muslimim, dan hasil pemilu pertama memberikan kemenangan kecil kepada Hassan al-Banna. Hasil itu tidak dapat diterima oleh Inggeris, dan ia terus mendesak agar diadakan lagi pemilu. Dalam pemilu ulangan itu, Hakim Sinai telah mengusir wakil Ikhwanul Muslimin menjadi pengawas penghitungan suara. Untuk menentukan kemenangan berpihak kepada calon yang disukainya, Inggeris membawa masuk banyak buruh dan pekerja sebagai pemilih. Akhirnya, penjumlahan suara memperlihatkan kekalahan di pihak Ikhwanul Muslimin .
Akibat ketidakadilan politik itu, akhirnya ditentang oleh pendukung Ikhwanul Muslimin sehingga menyebabkan Ahmad Mahir dibunuh oleh seorang lelaki yang menjadi anggota parti Al-Wathani al-Aisawi. Tempatnya digantikan oleh Fahmi Naqrasi dari partai as-Sa’di. Mulai saat mengambilalih pemerintahan, Naqrasi terus melaksanakan sistem pemerintahan yang keras dan bertindak otoriter dengan menghalang semua kegiatan Ikhwanul Muslimin berdasarkan informasi dan perintah Inggeris. Mulai dari saat itu, Hassan al-Banna mengadakan perbincangan dan perundingan. Dalam satu surat yang menjadi bahan perbincangan antara mereka berdua, Naqrasi menerangkan mengenai perbincangannya dengan Inggeris. Keputusan itu tidak dapat diterima oleh masyarakat sehingga mencetuskan pemberontakan yang dikenali sebagai kubri Abbas, dan akhirnya Naqrasi terpaksa mundur dari jabatannya.
Setelah Naqrasi berundur, Mesir diperintah oleh Perdana Menteri Ismail Shidqi yang kemudiannya disambut dengan demontrasi besar-besaran di mana Hassan al-Banna menyampaikan seruan agar semua partai politik bergabung untuk mendirikan sebuah perhimpunan rakyat. Rencana tersebut tidak mendapat dukungan, tetapi tidak melumpuhkan semangat Hassan al-Banna mendesak pemerintah Mesir agar membekukan perjanjian dengan Inggeris dan melancarkan jihad. Perjuangan Hassan al-Banna terus mendapat respons positif dan beberapa demonstrasi terjadi di Kairo dan Iskandariah menyebabkan aktivitas Ikhwanul Muslimin dikawal ketat oleh pemerintah dengan bantuan Inggeris.
Pada 10 September 1946, Naqrasi kembali memerintah ketika jatuhnya pemerintahan Ismail Shidqi. Hassan membuat gagasan agar pemerintah baru, yaitu Naqrasi menghormati aspirasi rakyat, menyelesaikan perjanjian dengan Inggeris dan membenarkan rakyat terus melaksanakan jihad menentang budaya Barat serta pemerintahan penjajah. Akhirnya Ikhwanul Muslimin dituduh mengkhianati pemerintah dan pada 8 Disember 1948, karena desakan Inggeris, Ikhwanul Muslimin dilarang secara total. Beberapa orang pemimpinnya ditangkap, tetapi Hassan al-Banna dibebaskan dengan pengawasan ketat untuk memudahkan usaha membunuhnya. Pada 12 Februari 1949, Hassan benar-benar menjadi sasaran pembunuhan oleh dua orang pemuda yang menggunakan senjata milik polisi dan ketika dibawa ke rumah sakit, ia dibiarkan tanpa perawatan sehingga ia meninggal dunia.
 
				 
		