CERMIN ILMUWAN SEJATI

Kehadiran cermin tak asing bagi setiap manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cermin adalah kaca bening yang salah satu permukaannya dilapisi bahan reflektif yang memantulkan bayang-an benda di depannya.

Biasanya, cermin digunakan untuk melihat wajah (jasmani) saat berdandan. Sedangkan dalam makna majaz, kata cermin diartikan sesuatu yang menjadi contoh atau pelajaran.

Meski setiap manusia mengenal dan selalu bercermin, tapi hanya segelintir yang bisa mengambil pelajaran. Padahal melalui cermin, Abu Nawas mampu mem-buka topeng kemunafikan seorang ilmuan palsu dihadapan pemuka istana.

Dikisahkan, suatu hari ada seorang ilmuan menghadap khalifah Harun ar-Rasyid. Dihadapan khalifah, ia memperkenalkan diri sebagai seorang ilmuan terkenal dan terhebat di seluruh jazirah arab. Dengan sederet gelar akademik yang panjang dan tampilan jubah "kesalehan" yang mahal memukau, ia berkata : "Wahai khalifah, posisikan aku sebagai perdana menteri-mu. Sebab, aku ilmuan terkenal. Semua cabang ilmu telah aku kuasai. Gelar aka-demikku banyak. Silahkan semua ilmuan di negeri ini mengajukan pertanyaan. Semua soal dengan mudah akan kujawab tuntas. Tampilanku mewah dan meyakin-kan. Aku juga telah membawa "bingkisan" emas dan berlian sebagai hadiah untuk baginda khalifah bila mengangkatku sebagai penasihat utama kerajaan", kata-nya sombong, tegas, dan tanpa basa-basi.

Khalifah terkejut dengan kata si ilmuan yang begitu berani. Para perdana menteri yang hadir kaget dan sebagian berdecak kagum dengan tampilannya. Tapi, ada seorang menteri yang berbisik ke telinga khalifah agar memanggil Abu Nawas untuk menguji ilmuan tersebut. Khalifah setuju atas usulan tersebut. Ia memerintah-kan pengawal untuk memanggil Abu Nawas agar segera datang ke istana.

Tak lama, Abu Nawas sampai dan masuk ke ruang pertemuan istana. Ia tampil deng-an pakaian seadanya dan membawa sebuah cermin. Melihat hal tersebut, khalifah dan semua yang hadir keheranan. "Wahai tuan yang mengaku ilmuan hebat, bolehkah aku bertanya", kata Abu Nawas memecah keheningan. "Aku hanya ingin mengajukan 3 (tiga) pertanyaan, yaitu : (1) berapa jumlah bintang di langit ?. (2) apa yang sedang difikirkan khalifah ?. (3) apa yang dilihat setiap orang ketika berkaca ?".

Mendengar ketiga pertanyaan Abu Nawas, ilmuan tersebut emosi dan berkata "hai gembel dungu, pertanyaan apa yang engkau ajukan ?. Pertanyaan bodoh dan tak perlu kujawab". Mendengar respon si ilmuan tersebut, Abu Nawas berkata, "wah, ternyata engkau bukan ilmuan sejati, tapi hanya ilmuan ilusi dan imitasi (palsu)". Lalu, Abu Nawas menjelaskan tentang karakter ilmuan sejati, yaitu :

Pertama, Seorang ilmuan menjaga adab, bukan sekedar pamer gelar dan status. Adab vertikal akan membangun kesadaran sebagai hamba yang dhaif. Semua ilmu yang dimiliki berasal dari Allah semata. Untuk itu, ia tak pernah merasa berilmu, kecuali setitik hikmah yang dititipkan-Nya.

Adapun adab horizontal dengan menjaga akhlak pada semua ciptaan-Nya, terutama terhadap guru (adab ta'lim wa muta'allim). Ilmuan hakiki tak pernah pongah dengan gelar, status kemuliaan, dan pundi semata. Sebab, hal ini dicela oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Sesungguhnya hal yang lebih berat di timbangan amal bagi seorang mukmin adalah akhlak yang baik. Dan Allah tidak menyukai orang yang berbicara keji dan kotor” (HR. Tirmidzi).

Kedua, Seorang ilmuan akan "diminta" atas keluasan ilmunya, bukan mengemis status bermodal kemunafikan dan "pundi", serta menjual harga diri. Sebab, ilmuan hakiki selalu merujuk pada sabda Rasulullah : "Barangsiapa meminta-minta untuk memperkaya diri, maka ia seakan-akan memakan bara api" (HR. Ahmad).

Ketika ilmuan hakiki bertemu dengan penguasa sejati, harmonisasi kekhalifah-an akan terwujud. Tapi, bila kedua kutub culas bertemu, maka malapetaka yang akan terjadi. Rasulullah bersabda : "..... Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kehancuran” (HR. Bukhari).

Menurut Quraish Shihab, "andai amanah diperoleh melalui kebohongan, maka setiap yang mengikutinya akan berdosa. Sebab, ia telah membenarkan dan melanggengkan terjadinya kesalahan.

Ketiga, Ketika menghadapi persoalan. Ilmuan sejati tampil bijaksana, bukan emosional apatahlagi hanya mendengar isu sesat atau tampilan semata. Katanya teduh, bukan berisi amarah. Kehadirannya menyelesaikan masalah, bukan menyebar-kan fitnah dan memperkeruh persoalan. Tampil membawa cahaya yang menerangi, bukan angkuh dan

membanggakan diri. Hal ini diingatkan dalam firman-Nya : "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa ke-salahan yang mereka buat, maka sesung-guhnya mereka telah memikul ringkasan dan dosa yang nyata” (QS. al-Ahzab : 58).

Keempat, Seorang ilmuan mengedepankan isi (ilmu dan adab). Ia tidak pernah angkuh dengan tampilan, bangga gelar, apalagi silau "pundi-pundi". Sosok ilmuan yang demikian merupakan wujud hamba pilihan yang disampaikan oleh Rasulullah melalui sabdanya : "Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian” (HR. Muslim).

Idealnya, gelar yang diperoleh bermuatan tanggungjawab yang tinggi. Ia diraih melalui proses panjang dan "berisi harga diri" yang bertanggungjawab. Ia tak silau dengan gelar yang dimiliki, tapi semakin tunduk pada Ilahi. Baginya, tak ada perlunya gelar untuk dibanggakan. Gelar hanya sebatas pakaian yang tak men-jamin isi yang memakai. Sederetan gelar kadang hanya menipu untuk menutupi "kerak jasmani". Bagaikan pakaian, gelar bisa dipakai oleh siapa pun dan mungkin bisa diperoleh kapan pun. Tapi, memiliki ilmu dan adab tak bisa diraih kecuali pada hamba yang dianugerahkan hikmah-Nya.

Gelar yang disematkan melalui ijazah perlu memiliki ruh (syahadah atau pengakuan). Dengan ruh, ijazah mencerminkan kualitas. Namun, bila gelar yang tertera pada ijazah tanpa ruh, maka hanya tampil ilmuan yang tanpa pengakuan. Sebab, gelarnya telah kehilangan esensi ilmu dan adab yang seyogyanya dijunjung tinggi. Mungkin penduduk bumi mengakui atas gelar yang diraih dan posisi yang dimiliki, tapi penduduk langit tak bisa ditipu dan tak pula peduli. Sebab, kehadirannya tak pernah memberi manfaat, kecuali hanya sebatas penyebar kesombongan dan mafsadah di muka bumi.

Kelima, Seorang ilmuan selalu menghargai, bukan hanya minta dihargai. Pemilik ilmu bagaikan gula dalam segelas air kopi. Meski kehadiran gula begitu vital, namun pemilik nama adalah air kopi. Seorang ilmuan sejati tak berharap pujian dan se-lalu menghargai perbedaan sebagai sunnatullah. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : "Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)" (QS. an-Nisa' : 86).

Ayat di atas mengajarkan bahwa perbeda-an merupakan sunnatullah dan sarana saling menghargai dan menghormati. Perbedaan bukan untuk memicu fitnah, kebencian, perpecahan, dan permusuhan.

Keenam, Seorang ilmuan dibuktikan dari karya nyata dan kebermanfaatannya, bukan sekedar mengandalkan kepiawaian bermain kata dan unggahan di media sosial semata. Begitu jelas terlihat perbedaan antara ilmuan hakiki dengan ilmuan imitasi. Allah berfirman : ".... Kata-kanlah (Nabi Muhammad), apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah) ? Sesungguh-nya hanya ulul albab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran" (QS. az-Zumar : 9).

Ayat di atas begitu tegas menjelaskan per-bedaan orang yang berilmu dengan orang yang jahil. Orang yang berilmu mendahulu-kan adab dan mengamalkan agamanya secara

benar. Dengan demikian, ia akan mampu membedakan yang benar dan salah, serta mengambil keputusan yang bijaksana. Ciri ilmuan hakiki dinyatakan Rasulullah SAW melalui sabdanya : "Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja dilakukan secara itqan (profesional)" (HR. Thabrani).

Hadis di atas mempertegas beda ilmuan yang bekerja serius sesuai keahlian deng-an sosok pamer gelar dan status guna menyembunyikan ketidakmampuannya. Bila hasil diraih, ia tampil mengaku paling berjasa bak "pahlawan kesiangan. Tapi, bila mengalami kegagalan, maka dicari alibi dengan "mengkambinghitamkan" dan menyalahkan orang lain.

Ketujuh, Ilmuan hakiki bercermin untuk jasmani (adab) dan rohani (tawadhu' dan ikhlas). Melalui cara ini, ia mampu melihat keagungan-Nya dan kelemahan dirinya sebagai hamba. Sementara ilmuan imitasi hanya bercermin sisi jasmani agar dipuji dan dihormati.

Meski cermin yang digunakan Abu Nawas begitu sederhana, tapi memiliki arah tuju yang tajam. Tampilan sosok ilmuan tanpa adab pada masanya dan ilmuan imitasi --setelahnya-- bermunculan (dinamis) begitu nyata. Sosok ilmuan imitasi mengedepan-kan "casing" dan retorika, tanpa kualitas dan adab mulia. Produksi culas ini begitu subur tanpa malu. Menjadikan proses tak lagi jadi acuan dan berharap hasil akhir menjadi tujuan. Kondisi ini menyebabkan gelar hanya sebatas status. Sayangnya, kemunculan ilmuan imitasi selalu tampil dipusaran peradaban. Sementara, sosok ilmuan hakiki (istiqomah) berada diping-giran dan kurang disenangi. Akibatnya, kerusakan peradaban tak bisa dihindarkan. Semua ini merupakan tanda akhir zaman, yaitu ketika "budak

melahirkan tuannya". Sungguh, manusia hanya bercermin untuk mempercantik jasmani, tapi lupa untuk membersihkan akal, hati, dan mulutnya yang kotor. Untuk itu, wajar bila cahaya-Nya (kebenaran) tak pernah hadir pada diri hamba yang "membusuk". Na'uzubillah...

Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***

Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis dan Waketum PB-ISMI.

USAH SALAH GUNA NIKMAT SIHAT

ISLAM merupakan satu agama yang cukup memberi perhatian terhadap kesihatan. Barang siapa yang diberikan kesihatan daripada Allah s.w.t, dia mestilah memelihara kesihatan tersebut.

Betapa pentingnya menjaga kesihatan terserlah apabila Rasulullah s.a.w. menyebut dalam sebuah hadis bahawa: Permintaan yang paling disukai Allah daripada hamba-Nya ialah meminta dianugerahkan kesihatan yang sempurna. Bahkan Baginda sendiri mengajarkan umatnya supaya mengamalkan selawat shifak.

Di dalam tafsiran Ibn Abbas, nikmat yang dimaksudkan dalam ayat surah al- Kauthar ayat 8, mafhumnya: “Di kemudian hari kamu akan ditanya tentang nikmat dan ia adalah nikmat kesihatan. Manusia akan dipertanggungjawabkan apakah yang telah dilakukan ketika sihat.”

Jika diteliti syariat Islam yang diturunkan Allah kesemuanya diturunkan untuk memelihara kesihatan manusia. Cuma skop kesihatan diperluaskan pada kesihatan mental, fizikal, spirituil, keturunan dan harta. Setiap sesuatu yang diharamkan syariat adalah disebabkan Allah tahu ianya memudaratkan kesihatan manusia. Setiap yang dihalalkan pula sudah pasti boleh memanfaatkan mereka.

Menurut pandangan Islam, kesihatan akan dapat dipelihara dengan baik jika manusia mengamalkan satu tabiat hidup yang telah diatur dengan baik.

Kesihatan akan terpelihara jika manusia menjaga makan minum mereka. Ini bertepatan dengan pepatah yang menyebut you are what you eat atau anda adalah apa yang anda makan.

Islam menyeru supaya umatnya memilih makanan yang mempunyai dua kriteria, iaitu halal dan baik atau berkhasiat. Makanan kita mestilah daripada yang halal sumbernya dan zatnya serta berkhasiat dan baik yang sesuai dengan tubah badan seseorang.

Soal makan adalah penting kerana antara makanan dan keperibadian seseorang mempunyai pertalian yang amat kuat. Makanan yang baik dan halal akan menjamin akhlak yang lahir juga baik, sebaliknya makanan daripada sumber yang haram akan menyebabkan lahirnya akhlak yang negatif.

Setelah memilih makanan yang halal dan baik, Islam memberi panduan tentang adab makan pula iaitu bersederhana dalam makan. Ia menyeru umatnya supaya makan dan minumlah tapi jangan berlebih-lebih. Ini diperakui oleh para doktor bahawa makan yang berlebihan boleh mengakibatkan penyakit obesiti atau kegemukan. Rasulullah s.a.w mengajar umat baginda supaya makan dengan tiga jari yang bermaksud memperkecilkan suapan, begitu juga pesan Baginda supaya umatnya membahagikan perut kepada tiga bahagian. Satu untuk makan, satu untuk minum dan satu lagi untuk pernafasan.

Sesetengah daripada kita ada tabiat buruk dalam adab makan. Walaupun perutnya kenyang tetapi disebabkan ada di antara kawannya yang mempelawanya makan percuma, dia masih sanggup mengisi lagi perut yang sudah penuh. Tak kurang juga yang dapat peluang makan percuma di rumah terbuka atau jamuan akan mengambil peluang makan seolah-olah dia makan untuk seminggu. Ramai juga yang tidak menahan nafsu melihat deretan panjang makanan dalam jamuan buffet, lalu diambil kesemuanya hingga penuh pinggan seperti bukit akhirnya bila tidak termakan ia dibuang begitu sahaja.

Kebersihan juga memainkan peranan penting untuk menjamin kesihatan.

Banyak hadis yang mengajak umat mengamalkan kebersihan seperti seruan sugi gigi setiap kali sebelum solat. Ini bererti seorang Islam akan menggosok gigi sekurangnya lima kali sehari. Begitu juga larangan melonggok sampah di sudut rumah.

Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Janganlah kamu suka melonggokkan sampah di depan rumah seperti orang Yahudi.”

Demi menjamin kesihatan, orang Islam diarahkan supaya memberi hak pada setiap anggota tubuh badan supaya tercegah daripada penyakit. Sesungguhnya mencegah adalah lebih baik daripada merawat. Tubuh badan wajar diberi hak rehat dan juga hak bergerak.

Banyak riwayat daripada Rasulullah s.a.w, menceritakan kelebihan berjoging misalnya. Begitu juga untuk hak rehat, ada waktu tertentu yang disuruh kita tidur.

Pernah satu hari Baginda Rasulullah s.a.w melihat anaknya Fatimah tidur semula selepas subuh lalu baginda terus mengejutkannya dan berkata, “Adakah kamu akan tidur di waktu Allah sedang membahagikan rezekinya?”

Jika Alllah memberi sakit kepada seseorang ia adalah bertujuan mengingatkan kita pada nikmat kesihatan.

Ini disebabkan nikmat sihat dan waktu lapang adalah dua nikmat yang selalu melekakan manusia. Apabila diberi sakit barulah manusia dapat menilai erti kesihatan yang sesungguhnya tidak dapat dinilai atau dibeli dengan wang ringgit.

Menjaga kesihatan dalam Islam bukanlah sekadar luaran sahaja tetapi makanan rohani juga harus dititikberatkan. Jiwa yang tidak disantap dengan pengisian dan ilmu yang berfaedah akan terasa gersang.

Akhirnya jiwa ini akan mencari sesuatu yang tidak baik sebagai mengisi vakum di dalamnya.

Ramai juga yang terlibat dalam penyalahgunaan nikmat kesihatan. Nikmat sihat dikira salah guna jika di kala sihat manusia lupa beribadat.

Dia leka dengan perkara lain yang menjauhkan dirinya daripada Allah sebaliknya apabila dia sakit atau ditarik nikmat sihat daripadanya barulah dia teringat hendak memperbanyakkan ibadahnya.

Sesungguhnya kesihatan adalah nikmat Allah yang paling berharga. Gunakanlah ia sebaik mungkin untuk mendekatkan diri pada Allah. Penyalahgunaan nikmat sihat di sisi Allah adalah sesuatu yang dilarang di dalam Islam.

JANGAN MARAH

Tubuh mengalami perubahan sesuai dengan perubahan psikologis,  misalnya, marah senang, sedih, resah gusar, dan malu. Adapun marah, pada hakikatnya akan memanaskan tubuh dan mengeringkannya. Oleh kerana itu, Rasulullah melarang hal tersebut. Konon, ada seorang laki-laki dating kepada Nabi seraya berucap, “Berpesanlah kepadaku.” Beliau menjawab, “Jangan marah,” (HR.al-Bukhari,at-Tirmidzi,dan Ahmad).

Keadaan psikologis yang saya sebutkan di atas memiliki pengaruh langsung dan aktif pada diri manusia, di mana keadaan itu akan mengakibatkan pada salur darah dan juga boleh mengakibatkan beberapa keadaan lain-lain yang cukup berbahaya misalnya serangan jantung, sesak dada dan lemah jantung. Selain itu, marah yang berlangsung dan terus – menerus dapat menyebabkan penyakit kencing manis, bertambahnya aktiviti pada kelenjar di atas ginjal, yang pada gilirannya dapat menambah pengeluaran hormon adrenalin. Keadaan psikologis seperti ini juga dapat menyebabkan seseorang mudah terserang berbagai macam penyakit.

Oleh itu, orang yang cepat marah digalakkan untuk menghiburkan diri sehingga tidak dikuasai olah amarah. Inilah makna firman Allah SWT, “Orang-orang yang menahan amarahnya,” (QS.Ali Imran,3:134)

Dengan demikian Allah telah menetapkan adanya amarah dalam diri manusia, tapi Allah juga memberi pujian kepada mereka atas kemampuan mereka mengendalikannya. Nabi pernah marah sehingga kemarahan itu kelihatan dari raut wajah beliau. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya marah itu dari syaitan, syaitan itu diciptakan dari api , dan api hanya boleh dipadamkan dengan air. Oleh itu, apabila salah seorang diantara kamu marah, hendaklah dia berwudhuk.”1]

Dalam riwayat at-Tarmizi disebutkan,

“Ketahuilah bahawa marah adalah bara ap dalam hati anak ada. Tidakkah kalian lihat merah kedua matanya (sebagai tanda orang marah itu) dan meregang urat-urat lehernya.” 2]

Dalam sebuah riwayat disebutkan,

“Sungguh aku benar-benar mengetahui satu kalimat yang jika dia ucapkan, niscaya kemarahan yang dia rasakan akan hilang; ‘Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,’” (HR.Muslim).

Sementara kegembiraan boleh menguatkan jiwa sekaligus memberikan kehangatan padanya. Tetapi, jika kegembiraan ini berlebihan, maka akan dapat membunuh jiwanya. Hal itu telah diceritakan dari beberapa orang, di mana mereka mati kerana kegembiraan yang berlebihan.

Hal tersebut telah dilarang melalui firman Allah SWT, “Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri, (“QS. al-Qashash [28]:76)

Sedang kegembiraan yang diwarnai keimanan, maka hal itu benar-benar terpuji. Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT, “Mereka bergembira dengan kurnia yang diberikan Allah kepadanya” (QS.Ali Imran [3]:170).

Juga firman Allah SWT , “Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan,” (QS. Yunus [10]:58).

Adapun kecemasan dan kebingungan boleh menyebabkan timbulnya kemarahan. Oleh kerana itu, agama mengajarkan untuk memohon pertolongan dari kecemasan dan kebingungan. Dalam sebuah hadis disebutkan, Nabi Muhammad s.a.w bersabda,

Barang siapa yang banyak rasa cemasnya, maka tubuhnya akan sakit.”3

Cemas lebih kepada sesuatu yang ditunggu kedatangan atau kepergiannya. Rasulullah s.a.w sentiasa memohon perlindungan kepada Allah dari keresahan dan kesedihan dalam setiap solat.

Ibnu Abbas berkata dalam hadis marfu’, Barang siapa yang banyak merasa cemas dan sedih , hendaklah dia memperbanyakkan membaca, ‘ Tidak ada daya dan upaya , melainkan hanya milik Allah Yang Maha tinggi lagi Maha Agung”.

Dengan demikian, huqalah (bacaan la haula wa la quwwata illa billah) merupakan ungkapan kepasrahan dan penerimaan.

Bagi orang yang sering cemas disarankan supaya menyibukkan diri dengan hal-hal yang boleh membuatkanya lupakan keresahan dan hendaklah menyibukkan diri dengan hal-hal yang boleh melupakan hal tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad s.a.w di mana beliau bersabda,

Hendaklah salah seorang di antara kalian, jika kecemasannya menyelimuti dirinya supaya mengalungkan busurnya”4]

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad s.a.w jika dibuat pertolongan oleh suatu urusan, maka dia segera mengangkat kepalanya kelangit seraya berucap,

“Maha suci Allah yang Maha Agung”4]

Dari Abdullah bin Mas’ud dengan status marfu’, dimana Rasulullah s.a.w

“Ya Allah sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki –Mu, anak hamba perempuan-Mu. Hukum-Mu berlaku pada diriku, begitu adil hokum-Mu yang berlaku pada diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segenap nama yang menjadi milik-KMu, yang dengannya Engkau memberi nama pada diri-Mu sendiri, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu , atau Engkau sembunyikan di dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu. Hendaklah engkau menjadikan al-Quran al-Azhim sebagai taman hatiku, cahaya dadaku pelipur laraku, dan penghilang keresahanku, melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kecemasannya serta menggantinya dengan kegembiraan.”5]

                                                                                               

1. Disebutkan Abu Dawud (4784), Ahmad (IV/226), Dha’if al-Jami (1510). Dia mengatakan, hadis ini daif. At Tarmidzi (2286), Ahmad(III/19,61). At Tirmidzi mengatakan, hadis ini hasan.

2. Diriwayatkan at-Tirmidzi (2286) dan Ahmad (III/19,61). At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

3.Disebutkan Abu Nua’im. Al-Jami al- Kabir(1/829).Al-Khatib mengatakan, dalam al-Muttafaq wa al-Muftaraq minali. Di dalam sanadnya terdapat Basyar bin ‘Ashim dari Hafsh bin Umar, al-Khatib berkata,keduanya adalah majhul.

4. At-Tirmidzi (3661), Dha’if al-Jami (4361), penulis buku ini berkata,hadis ini daif

5. Disebutkan Imam Ahmad di dalam kitab al-Musnad (1/391). Ibnu Hibban dalam kitab shahih dan al-Hakim (1/509). al-Kalam ath –Thayyib (123), dan dia mengatakan,sahih

Sumber: Prof. Dr. Abdul Basith Muhammad as-Sayyid, Pola Makan Rasulullah

MEMBACA RUMI, MENGEJAR KEDAMAIAN -PART VI

Syams Tabrizi (Muhamad bin Ali bin Malik-Dad) dilahirkan di bandar Tabriz, Khurasan, Iran (Parsi) pada tahun 1185M. Ada yang menyatakan nama sebenar Syams Tabriz ialah Muhamad bin Ali Azeri Melekdadoglu. Beliau adalah cucu kepada Azeri Turk. (Zaki Safuan al-Hafiz, Rumi: Filsuf Cinta Anatolia, Kuala Lumpur: Patriots Asia Sdn. Bhd., 2023, hal. 35). Bagaimanapun, setakat ini saya tidak menemukan nama Azeri Turk, sebaliknya saya temukan Azeri itu merujuk kepada satu kawasan atau wilayah yang dinamakan sebagai Azerbaijan. Turk adalah istilah Inggeris bagi etnik yang berasal dari Turki atau sebelumnya dikenali sebagai Anatolia.
 
Sejak kecil lagi perwatakannya berbeza dengan kanak-kanak seusia, tidak suka bermain tetapi lebih gemar menghadiri pengajian sufi dan ikut belajar mengenainya. Syams ketika berumur tujuh tahun sudah menghafaz seluruh kandungan al-Quran. Sifat semula jadinya, sentiasa kurangkan makan, bahkan dikatakan hanya makan sekali dalam tiga atau empat hari.
 
Setiap hari semalaman, tidurnya tidaklah begitu lama, hanya sekadar empat jam. Bantalnya adalah diperbuat daripada tanah liat dan tidur di atas tikar yang kasar. Syams seringkali menggambarkan tidurnya seolah-olah "sudah mati" dan setiap malam, ayahnya akan mengejutkannya untuk bertahajud.
 
Dalam satu cerita, digambarkan: "Di dalam tidur, Syams bermimpi mendengar malaikat membaca al-Quran." Setelah tersedar, Syams akan bangun dan membuka masyaf, dan surah yang ditemukan itu ialah surah al-Syams. Syams kemudiannya membacanya hingga sampai ke satu ayat yang bermaksud: " sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya - yang sedia bersih - bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan)." [ayat ke- 9].
 
Diulanginya berkali-kali dan atas penemuan dan perilaku itulah melekat di jiwanya sehingga beliau dikenali sebagai Syams Tabrizi [Syams bererti matahari; matahari dari Tabriz]. Titik penemuan itu telah membuka jiwa dan hati Syams, sehingga seluruh kehidupannya benar-benar berada dalam suatu perjalanan ilmu yang tidak pernah berhenti.
 
Seperti juga permulaan surah al-Syams, "Demi matahari dan cahayanya yang terang benderang", Syams Tabrizi hadir untuk membawa cahaya yang sangat besar dalam kesucian nurani Rumi. Syams bermakna "matahari" dan Rumi benar-benar bermanfaat dengan kehadiran "matahari" itu. Syams menjadikan Rumi sebagai penyair mistik dan pengolah jiwa yang berjaya merungkaikan roh Islam, yang membawa manusia mengenal Allah dengan kedalaman makna dalam hakikat kehidupan.
 
Sebelum bertemu Syams, Rumi tidak begitu meminati puisi dan pernah mengecamnya sebagai:
 
"Apalah ertinya puisi untukku
sehingga aku harus membual dengannya
Aku memiliki seni lain, berbeza dari seni-seni penyair
Puisi laksana awan gelap, aku di belakang selubung seperti bulan
Jangan sebut aku awan gelap bulan bercahaya di langit."
 
(Amin Banani, "Rumi Sang Penyair", dalam Amin Banani, Richard Hovannisian dan George Sabaguh, Kidung Rumi: Puisi dan Mistisisme Islam, terjemahan dari bahasa Inggeris oleh Joko S Kahhar, Surabaya: Risalah Gusti, 2001, hal.53).
 
Namun setelah bertemu Syams, tulis Amin Banani "ghazal-ghazalnya adalah sebuah perayaan cinta yang meluap-luap yang, sebagaimana dia dengan sungguh-sungguh mengatakan kepada kita merupakan sebuah kekuatan yang secara diametris bertentangan dengan akal.
 
"Di sinilah letaknya hubungan antara Rumi sang mistikus dan Rumi sang penyair, dan pada titik inilah kita memperjelaskan catatan kemistikan tentang bagaimana Rumi sampai menjadi seorang penyair.
 
"Puisi yang muncul dari kedalaman dirinya dan terus menerus meledak-ledak seperti gunung berapi, tepatnya adalah arus mantera-mantera irasional dan magis yang terpesona oleh cinta yang pernah digambarkan dan tidak disetujui oleh Plato." (Amin Banani, hal. 44)
 
"Berapa lama kau akan menempatkan ghazal-ghazal untuk wicara*
Tanpa bentuk wicara, semaklah [bacalah] ghazal yang lain dari jiwa."
......
Syams-i Tabriz menyentuh jiwaku
Mahu tidak mahu aku menjadi sebuah organon°
dalam (persoalan) cinta.
(Amin Banani, hal.45).
 
[Nota:
*wicara bermaksud percakapan atau pertuturan.
°organon bermaksud alat atau perkakas untuk membuat atau mengerjakan sesuatu; juga boleh dimaksudkan sebagai "acuan"]
 
Ketika remaja, jiwa Syams cukup kuat untuk mencari "hakikat cinta", dan kerana tidak menemukan seseorang yang mampu memberikannya kefahaman tersebut, Syams lebih banyak menghabiskan masa bersendirian sehingga raut wajahnya dilihat tidak ceria (sentiasa bersedih), dalam keadaan muka pucat. Keadaan itu menyebabkan ayahnya ikut bersedih.
 
Suatu hari Syams memberitahu: "Mereka bertanya kepadaku; kenapa engkau begitu sedih? Apakah engkau ingin memiliki pakaian indah yang dibuat dari emas atau perak? Aku menjawab: Tidak, aku hanya berharap akan ada orang yang akan mengambil pakaian yang sedang aku pakai." (Adaptasi dari Naser Sabebuz Zamani oleh Mojdeh Bayat, dipetik oleh Chindi Andriyani, Jalaludin Rumi: Sebuah Biografi, Yogyakarta: Penerbit Sociality, 2019, hal. 26-27).
 
Syams berguru dengan ramai ulama sufi yang terkenal pada masa itu, antaranya, Abu Bakar Silaf-Beg (Salabaf), Syeikh Kermani, Ruknuddin Sajadi dan ayahnya sendiri. Ketika dalam asuhan Abu Bakar, bakat dan kecenderungan Syams telah disedari. Abu Bakar kemudiannya mengatakan Syams telah mencapai "tingkat tertinggi" dan tidak perlu lagi berguru dengannya. Ketika itu, Syams terus berada dalam keadaan mencari, mencari seseorang yang dapat dijadikannya guru, juga menjadikan seseorang sebagai seorang murid.
 
Dalam pencarian yang panjang itu, Syams mengembara dari sebuah bandar ke sebuah bandar dan melakukan apa sahaja pekerjaan untuk menampung keperluan hidupnya. Namun dalam kesibukan itu, Syams tidak pernah meminta upah, hanya mengambil bayaran sekadar cukup dengan keperluan sendiri. Jika merasakan ada bakinya, maka upah itu disedekahkan kepada mereka yang memerlukan, yang ditemuinya di jalanan atau pasar.
 
Syams tidak mengenakan pakaian yang indah, hanya sekadar pakaian "jubah sufi" yang kelihatan seperti pakaian seorang pengemis; compang-camping dan penuh dengan tampalan akibat koyak.
 
Pencarian itu sampai ke kemuncak apabila Syams tiba di Konya dan dapat bertemu Rumi, yang ketika itu baharu selesai mengajar. Rumi sedang menunggang seekor keldai, dan di belakangnya diiringi oleh beberapa orang murid yang berjalan kaki. Hasil pertemuan itu, Rumi dan Syams benar-benar menjadi sahabat baik, sehingga beberapa kisah persahabatan itu menimbulkan syak wasangka dalam kalangan anak murid dan juga putera kedua Rumi sendiri, Alaudin (Aladdin). Isteri Rumi [Kereta] turut merasakan hal yang sama, perasaan hati seorang isteri seolah-olah "tidak bermakna" lagi. Dianggap sudah diketepikan kerana Rumi mengutamakan Syams berbanding dirinya dan ahli keluarga sendiri.
 
Rumi juga dikatakan semakin "tersihir dengan Syams" sehingga beberapa rutin hariannya ikut berubah, majlis-majlis ceramahnya mulai tidak tersusun dan digantikan oleh beberapa orang muridnya yang dipercayai, termasuk anaknya sendiri, Sultan Walad, abang kepada Alaudin.
 
Bahkan, sebagai menjaga batas privasi hubungan akrab itu, Rumi hanya membenarkan dua orang sahaja yang dapat mengganggunya semasa "bersama Syams". Dua orang itu ialah putera sulungnya, Sultan Walad dan pembantunya yang amat dipercayainya, Hushamuddin Chelebi (Syalabi).
 
Pada suatu malam, Syams bermimpi yang dirinya bersama-sama sejumlah sahabat sedang menekuni dan berbincang mengenai karya ayah Rumi, Ma'arif. Menurut al-Aflaki:
 
"Begitu terbangun dari mimpinya, Syams masuk ke kamar dengan pandangan tegang. Dia bertanya kepada Jalal: "Bagaimana kamu sampai berani mempelajari buku itu lagi?" Jalal memprotes bahawa, sejak dia dilarang, dia tidak pernah lagi membuka karya-karya ayahnya.
 
"Ya," jawab Syams, "anda belajar lewat membaca, dan anda juga belajar lewat perenungan. Mimpi itu tidak lain adalah bayang-bayang fikiran sedar kita. Seandainya kamu tidak berfikir tentang tulisan-tulisan itu, tentu kamu tidak akan bermimpi tentang tulisan-tulisan itu.
 
"Sejak saat itulah," kata Jalal, "Aku tidak pernah lagi menyibukkan diri dengan tulisan-tulisan ayahku, selama Syamsudin masih hidup." (Syamsudin Ahmad al-Aflaki, Tebaran Hikmah, hal.122).
 
Ketika hadir ke Konya (1244M), Syams Tabrizi berusia 59 tahun manakala Rumi sekitar 37 tahun. Jarak usia itu tidak menjadi penghalang. Sebaliknya Rumi cukup mengharapkan "pencerahan" manakala Syams berusaha untuk mempertahankan perilaku sufinya; Rumi bukan sahaja berguru dengannya, bahkan dalam masa yang sama, Syams berguru dengan Rumi.
 
Syams "memiliki cinta yang suci dalam dirinya" tetapi tidak diluahkan kecuali tatkala bertemu Rumi. Cinta yang tersembunyi "dalam rasa belas kasihan" itulah akhirnya telah berjaya mengubah Rumi sehingga menanggalkan "turban khas cendekiawan dari kepala Rumi," dan " membelokkan Rumi daripada seorang guru atau cendekiawan menjadi pencinta Tuhan yang sangat antusias." (Cihan Okuyuku, Rumi: Kisah Hidup dan Pesan-Pesannya, hal. 33-34). [Dalam catatan al-Aflaki, Jalaludin Rumi diringkaskan sebagai Jalal. Dalam penulisan-penulisan ini, saya ringkaskan sebagai Rumi].
 
(bersambung)

MEMBACA RUMI, MENGEJAR KEDAMAIAN -PART V

Menurut Sefik Can, berdasarkan tulisan Syamsudin Ahmad al-Aflaki (1286/1291-1360M), pengikut tarekat Mawlawiyah yang diasaskan oleh Jalaludin Rumi dan belajar dengan cucu Jalaludin Rumi, Shalabi Amir 'Arif, ayah Syams bernama Ali, anak lelaki kepada Malik-dad. Syams lahir di Tibriz (atau Tabriz), dalam wilayah Khorasan, Iran dan daripada kelompok orang Turki yang tinggal di Azerbaijan (Azeri Turk).
 
Syams dikenali sebagai Syams al-Din (Syamsudin) Tabriz adalah seorang sufi yang tidak mempunyai tempat kediaman yang kekal, maka dia dikenali sebagai Syams-i-Perende (Flying Syams). Dia juga dikenali sebagai Kamil-i Tabrizi (the perfect one of Tabriz), seorang yang dianggap sempurna di mana dirinya adalah seorang yang alim dan mempunyai pelbagai keajaiban yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang, juga sebahagian ahli sufi.
 
Antara keanehan Syams Tabriz (atau kadangkala dieja sebagai Syams Tibrizi) ialah setiap kali kemunculannya di mana-mana apabila dirinya mula dikenali ramai, Syams akan meninggalkan tempat itu. Sebab itulah Syams dikatakan suka "terbang", tidak kekal di sesuatu tempat dan dalam masa yang sama, tidak pernah tinggal bersama para darwish (ahli sufi) sama ada di pondok atau hadir dalam mana-mana majlis ahli sufi.
 
Sebut al-Aflaki: Dia melakukan perjalanan untuk mendapatkan pelajaran [menimba ilmu], baik pelajaran kemanusiaan mahupun spiritual. Dia sudah mengunjungi guru-guru utama spiritual dunia [terkenal pada zamannya]. Tetapi dia mendapati tidak ada yang menandingi dirinya. Kerana itu, para guru dari berbagai negeri menjadi murid-muridnya.
 
"Dia selalu mencari kekasih jiwa (Allah). Jasmaninya sentiasa diberinya busana paling kasar, menutupi keagungannya dari semua mata dengan apa yang sebenarnya merupakan pakaian spiritual yang berhiaskan permata." (Syamsudin Ahmad al-Aflaki, Tebaran Hikmah: Hikayat-Hikayat Seputar Jalaludin Rumi, terjemahan dari Legend of the Sufis: Selection from Manaqib al-'Arifin oleh Ilyas Hasan, Bandung: Penerbit al-Bayan, 1992, hal. 119).
 
Syams juga tidak memakai pakaian yang indah atau mewah, sebaliknya mengenakan pakaian yang digunakan secara lazim oleh para pedagang, tidak mengenakan pakaian seperti seorang Syeikh. Ertinya, dalam pemahaman saya, walaupun Syams Tabriz merupakan seorang yang alim, dia tidak menunjukkan kealimannya berdasarkan pakaian. Kalau di Malaysia, seseorang yang dianggap alim mestilah yang sentiasa memakai jubah, berserban dan berjanggut tanpa misai.
 
Bahkan ada cerita lucu (Kisah Pak Pandir) mengenai penampilan seorang lebai (alim) dalam cerita rakyat, yakni bagaimana Mak Andeh menjelaskan kepada Pak Pandir diskripsi seorang lebai yang perlu dipanggil untuk menguruskan anak kecil mereka yang meninggal dunia. Anak kecil itu meninggal setelah Pak Pandir memandikannya dengan air panas, ketika itu Mak Andeh ke hutan mencari herba untuk mengubati anaknya yang sering sakit-sakitan.
 
Pak Pandir yang "bodoh dan lurus" diminta oleh Mak Andeh untuk mencari seorang Lebai. Pak Pandir tidak tahu ciri-ciri seorang Lebai, maka Mak Andeh memberikan beberapa petua, termasuklah yang mempunyai janggut tetapi tidak bermisai. Berdasarkan petua itu, Pak Pandir membawa seekor kambing ke rumah, kerana ciri-ciri kambing itu, hanya berjanggut tidak bermisai seperti dipetuakan oleh isterinya. Kambing itu disangkanya lebai yang akan menguruskan pengkebumian anaknya.
 
Situasi sebegini telah banyak menyumbang kepada kemusnahan hati dan jiwa umat Islam, melahirkan kelompok yang tersesat daripada ajaran sebenar. Ia membawa kepada munculnya pemikiran jumud, pemujaan terhadap seseorang dan melahirkan masyarakat terperangkap sedangkan Islam itu adalah cara hidup yang sempurna dan terbaik. Ia juga menimbulkan pelbagai permusuhan, bahkan tindakan membunuh sesama muslim, yang dapat kita pelajari dalam sejarah selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat moden yang kita hidup sekarang, perkembangan sekte telah menyebabkan umat Islam bukan lagi satu umat yang bersatu, atau dalam bahasa al-Qur'an "umat yang bersaudara".
 
Syams Tabriz mengetepikan semuanya, kerana pada pendapatnya, pakaian tidak melambangkan kealiman seseorang. Keimanan seseorang itu adalah apa yang ada dalam diri dan kedekatannya kepada Allah SWT, tanpa ada petunjuk untuk menunjukkan dirinya seorang yang cukup beriman dan berilmu. Hal ini mengingatkan saya kepada sebuah buku (kumpulan rencana) yang ditulis oleh Maarof Salleh, Islam, Songkok dan Bahasa: Awasi Rasa Ghairah yang Boleh Membunuh, Sg. Buloh, Selangor: Kemilau Publika Sdn, Bhd., 2014. misalnya, pada halaman 89, Maarof menulis:
"Suatu ketika dahulu, memakai songkok seolah-olah menjadi syarat penampilan identiti Melayu dan beragama sehingga bersongkok menjadi amalan tradisi pada hari-hari kebesaran Melayu dan agama.
"Sewaktu di zaman persekolahan dahulu, saya dan rakan-rakan yang bersolat di Masjid Bencoolen pernah beberapa kali diserkupkan dengan songkok ketika kami sedang rukuk atau duduk di antara dua sujud, oleh petugas masjid tersebut. Bagi beliau, perbuatan tidak bersongkok itu menjejaskan kesempurnaan solat seseorang."
 
Sebelum bertemu Syams, Rumi sering memakai pakaian seperti lazimnya digambarkan sebagai seorang berilmu, atau intelek. Pertama kali bertemu dengan Jalaludin Rumi secara kebetulan di pasar di Damaskus. Rumi dikatakan tinggal (belajar) di Damaskus antara empat atau tujuh tahun. Ketika itu, Syams memakai peci [seperti topi bulat] khas berwarna hitam. Jalaludin masih menimba ilmu. Jalaludin cuba menghindari daripada bersemuka dengan Syams, walaupun Syams menegurnya.
 
Tidak lama kemudian, Rumi meninggalkan Damaskus untuk pulang ke Konya. Dalam perjalanan itu, Rumi singgah di Qaisariyah (Kayseri) untuk bertemu gurunya, Sayyid Burhanuddin (Burhan). Di situlah Rumi diarahkan untuk berpuasa selama tiga musim, dan setiap musim selama 40 hari. Ritual itu dipanggil chila.
 
Pertemuan kedua berlaku di Konya. Syams tiba di Konya pada waktu fajar hari Sabtu, 25 Jamadul Akhir 642H (Disember 1244). Rumi ketika itu merupakan seorang guru di empat buah perguruan tinggi di Konya. Tulis al-Aflaki:
"Orang agung ini, setelah mendapatkan kesucian sedemikian rupa di Tabriz, sebagai murid seorang suci, seorang pembuat keranjang, mengadakan perjalanan di berbagai negeri, dalam rangka mencari guru-guru spiritual terbaik, sehingga dia mendapatkan julukan Perenda (penerbang, burung dan sebagainya, Flying).
 
"Dia memohon kepada Allah agar diberi petunjuk untuk dijadikan guru baginya, seorang guru yang boleh mengajarkan lebih jauh tentang misteri-misteri cinta Illahi.
 
"Putra Bahaudin Walad dari Balk digambarkan kepadanya sebagai seorang yang paling takwa kepada Allah. Mendengar itu, Syams pun gambaran [bergegas] pergi ke Konya.
 
"Dia tinggal di sebuah rumah penginapan, berlagak seperti seorang pedagang besar. Tetapi, di biliknya, yang ada hanyalah sebuah kendi air yang sudah pecah, sebidang tikar lusuh, sebuah penyangga [alas tidur, bantal] dari lempung [tanah liat] mentah. Dia melakukan puasa hanya sekali dalam setiap sepuluh atau dua belas hari, dengan sepiring kaldu [air rebusan daging seumpama kuah sup] kaki domba [binatang berbulu, kambing, atau biri-biri].
 
"Suatu hari, ketika dia sedang duduk-duduk di pintu gerbang rumah penginapan itu, Jalal lewat dengan menaiki seekor baghal [keldai], di kelilingi oleh murid-muridnya yang berjalan kaki.
 
"Syamsudin lalu bangkit berdiri, melangkah ke arah Jalal dan memegang tali kekang baghal, seraya menegur Jalal dengan berkata: "Wahai pedagang mata wang yang nilainya tidak banyak diketahui orang, yang mengetahui nama-nama Tuhan! Katakan: Apakah Muhammad itu hamba Allah paling agung, ataukah Bayazid dari Bistham? [tokoh sufi Iran terkenal, nama penuhnya, Abu Yazid bin Isa bin Suraya al-Bustami, 804-874M).
 
Rumi terus menjawab: Muhammad tidak pelak (keliru, salah) lagi adalah yang paling agung - yang paling agung di antara para nabi dan semua wali.
"Lalu," pintas Syamsudin, "mengapa Muhammad sampai berkata: 'Kami tidak mengenal-Mu, Wahai Tuhan, seperti seharusnya Engkau dikenal,' sedangkan Bayazid mengatakan: Mahasuci aku! Betapa agung kesucianku?"
 
"Mendengar jawapan ini, Jalal pun pengsan. Ketika siuman [sedar], Jalal membawa kenalan barunya itu ke rumahnya. Mereka berdua mengurung diri di dalam bilik kecil selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dalam satu komunikasi yang suci.
 
"Murid-murid Jalal akhirnya menjadi tidak sabar, sehingga terjadilah kegaduhan [pergaduhan]. Maka pada hari Khamis tanggal 21 Syawal 643H (Mac 1246M), Syamsudin secara misterius hilang; dan Jalal memakai, sebagai tanda-tanda berkabung atas hilangnya Syamsudin, peci berwarna kuning sawo matang dan mantel lebar seperti yang dikenakan oleh para darwish dari tarekatnya.
 
"Juga sekitar pada masa inilah dia untuk pertama kalinya menciptakan kebaktian muzikal yang dipraktikkan oleh tarekat itu, iaitu pada saat mereka melakukan tarian khas mereka.
 
"Semua yang terbuai muzik dan akhirnya mereka pun menari. Orang-orang yang fanatik merasa keberatan terhadap hal ini, dikarenakan mereka iri hati. Mereka berkata bahawa Jalal itu orang gila, persis seperti perkataan para kepala suku Makkah terhadap Nabi SAW. Penyakitnya diduga disebabkan oleh pengaruh buruk Syamsudin Tabrizi." (Syamsyudin Ahmad al-Aflaki, hal. 40-42).
 
(bersambung)

Hubungi Kami

Alamat:
No.5B, Jalan 3/70 Damai Point, Seksyen 3, 43650 Bandar Baru Bangi. Selangor

Telefon: +60 17-377 7732
Email: alfalahmadani2022 [@] gmail.com

Jumlah Pengunjung

028912
Hari ini: 207
Minggu Ini: 3,334
Bulan Ini: 2,708
Tahun Ini: 28,912
Tahun Lepas: 5,538
Image

Alfalahmadani.my merupakan sebuah portal yang bertanggungjawab untuk bertindak sebagai penampan bagi setiap tuduhan, fitnah, kekeliruan, ketidakfahaman dan kecelaruan yang berlegar di minda rakyat. Sama ada isu-isu yang timbul secara organik di media sosial, ataupun yang didorong sebagai naratif oleh pihak-pihak tertentu,

Alfalahmadani.my akan menjawab setiap permasalahan dengan pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Tentunya, kehadiran Alfalahmadani.my bukan berhasrat menyatakan kesempurnaan pemikiran, tetapi sebagai wahana untuk menuju kesempurnaan pengetahuan dalam konteks pemikiran semasa, dan kebijaksanaan yang mampu diusahakan.