Kehadiran cermin tak asing bagi setiap manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cermin adalah kaca bening yang salah satu permukaannya dilapisi bahan reflektif yang memantulkan bayang-an benda di depannya.
Biasanya, cermin digunakan untuk melihat wajah (jasmani) saat berdandan. Sedangkan dalam makna majaz, kata cermin diartikan sesuatu yang menjadi contoh atau pelajaran.
Meski setiap manusia mengenal dan selalu bercermin, tapi hanya segelintir yang bisa mengambil pelajaran. Padahal melalui cermin, Abu Nawas mampu mem-buka topeng kemunafikan seorang ilmuan palsu dihadapan pemuka istana.
Dikisahkan, suatu hari ada seorang ilmuan menghadap khalifah Harun ar-Rasyid. Dihadapan khalifah, ia memperkenalkan diri sebagai seorang ilmuan terkenal dan terhebat di seluruh jazirah arab. Dengan sederet gelar akademik yang panjang dan tampilan jubah "kesalehan" yang mahal memukau, ia berkata : "Wahai khalifah, posisikan aku sebagai perdana menteri-mu. Sebab, aku ilmuan terkenal. Semua cabang ilmu telah aku kuasai. Gelar aka-demikku banyak. Silahkan semua ilmuan di negeri ini mengajukan pertanyaan. Semua soal dengan mudah akan kujawab tuntas. Tampilanku mewah dan meyakin-kan. Aku juga telah membawa "bingkisan" emas dan berlian sebagai hadiah untuk baginda khalifah bila mengangkatku sebagai penasihat utama kerajaan", kata-nya sombong, tegas, dan tanpa basa-basi.
Khalifah terkejut dengan kata si ilmuan yang begitu berani. Para perdana menteri yang hadir kaget dan sebagian berdecak kagum dengan tampilannya. Tapi, ada seorang menteri yang berbisik ke telinga khalifah agar memanggil Abu Nawas untuk menguji ilmuan tersebut. Khalifah setuju atas usulan tersebut. Ia memerintah-kan pengawal untuk memanggil Abu Nawas agar segera datang ke istana.
Tak lama, Abu Nawas sampai dan masuk ke ruang pertemuan istana. Ia tampil deng-an pakaian seadanya dan membawa sebuah cermin. Melihat hal tersebut, khalifah dan semua yang hadir keheranan. "Wahai tuan yang mengaku ilmuan hebat, bolehkah aku bertanya", kata Abu Nawas memecah keheningan. "Aku hanya ingin mengajukan 3 (tiga) pertanyaan, yaitu : (1) berapa jumlah bintang di langit ?. (2) apa yang sedang difikirkan khalifah ?. (3) apa yang dilihat setiap orang ketika berkaca ?".
Mendengar ketiga pertanyaan Abu Nawas, ilmuan tersebut emosi dan berkata "hai gembel dungu, pertanyaan apa yang engkau ajukan ?. Pertanyaan bodoh dan tak perlu kujawab". Mendengar respon si ilmuan tersebut, Abu Nawas berkata, "wah, ternyata engkau bukan ilmuan sejati, tapi hanya ilmuan ilusi dan imitasi (palsu)". Lalu, Abu Nawas menjelaskan tentang karakter ilmuan sejati, yaitu :
Pertama, Seorang ilmuan menjaga adab, bukan sekedar pamer gelar dan status. Adab vertikal akan membangun kesadaran sebagai hamba yang dhaif. Semua ilmu yang dimiliki berasal dari Allah semata. Untuk itu, ia tak pernah merasa berilmu, kecuali setitik hikmah yang dititipkan-Nya.
Adapun adab horizontal dengan menjaga akhlak pada semua ciptaan-Nya, terutama terhadap guru (adab ta'lim wa muta'allim). Ilmuan hakiki tak pernah pongah dengan gelar, status kemuliaan, dan pundi semata. Sebab, hal ini dicela oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya : “Sesungguhnya hal yang lebih berat di timbangan amal bagi seorang mukmin adalah akhlak yang baik. Dan Allah tidak menyukai orang yang berbicara keji dan kotor” (HR. Tirmidzi).
Kedua, Seorang ilmuan akan "diminta" atas keluasan ilmunya, bukan mengemis status bermodal kemunafikan dan "pundi", serta menjual harga diri. Sebab, ilmuan hakiki selalu merujuk pada sabda Rasulullah : "Barangsiapa meminta-minta untuk memperkaya diri, maka ia seakan-akan memakan bara api" (HR. Ahmad).
Ketika ilmuan hakiki bertemu dengan penguasa sejati, harmonisasi kekhalifah-an akan terwujud. Tapi, bila kedua kutub culas bertemu, maka malapetaka yang akan terjadi. Rasulullah bersabda : "..... Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kehancuran” (HR. Bukhari).
Menurut Quraish Shihab, "andai amanah diperoleh melalui kebohongan, maka setiap yang mengikutinya akan berdosa. Sebab, ia telah membenarkan dan melanggengkan terjadinya kesalahan.
Ketiga, Ketika menghadapi persoalan. Ilmuan sejati tampil bijaksana, bukan emosional apatahlagi hanya mendengar isu sesat atau tampilan semata. Katanya teduh, bukan berisi amarah. Kehadirannya menyelesaikan masalah, bukan menyebar-kan fitnah dan memperkeruh persoalan. Tampil membawa cahaya yang menerangi, bukan angkuh dan
membanggakan diri. Hal ini diingatkan dalam firman-Nya : "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa ke-salahan yang mereka buat, maka sesung-guhnya mereka telah memikul ringkasan dan dosa yang nyata” (QS. al-Ahzab : 58).
Keempat, Seorang ilmuan mengedepankan isi (ilmu dan adab). Ia tidak pernah angkuh dengan tampilan, bangga gelar, apalagi silau "pundi-pundi". Sosok ilmuan yang demikian merupakan wujud hamba pilihan yang disampaikan oleh Rasulullah melalui sabdanya : "Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian” (HR. Muslim).
Idealnya, gelar yang diperoleh bermuatan tanggungjawab yang tinggi. Ia diraih melalui proses panjang dan "berisi harga diri" yang bertanggungjawab. Ia tak silau dengan gelar yang dimiliki, tapi semakin tunduk pada Ilahi. Baginya, tak ada perlunya gelar untuk dibanggakan. Gelar hanya sebatas pakaian yang tak men-jamin isi yang memakai. Sederetan gelar kadang hanya menipu untuk menutupi "kerak jasmani". Bagaikan pakaian, gelar bisa dipakai oleh siapa pun dan mungkin bisa diperoleh kapan pun. Tapi, memiliki ilmu dan adab tak bisa diraih kecuali pada hamba yang dianugerahkan hikmah-Nya.
Gelar yang disematkan melalui ijazah perlu memiliki ruh (syahadah atau pengakuan). Dengan ruh, ijazah mencerminkan kualitas. Namun, bila gelar yang tertera pada ijazah tanpa ruh, maka hanya tampil ilmuan yang tanpa pengakuan. Sebab, gelarnya telah kehilangan esensi ilmu dan adab yang seyogyanya dijunjung tinggi. Mungkin penduduk bumi mengakui atas gelar yang diraih dan posisi yang dimiliki, tapi penduduk langit tak bisa ditipu dan tak pula peduli. Sebab, kehadirannya tak pernah memberi manfaat, kecuali hanya sebatas penyebar kesombongan dan mafsadah di muka bumi.
Kelima, Seorang ilmuan selalu menghargai, bukan hanya minta dihargai. Pemilik ilmu bagaikan gula dalam segelas air kopi. Meski kehadiran gula begitu vital, namun pemilik nama adalah air kopi. Seorang ilmuan sejati tak berharap pujian dan se-lalu menghargai perbedaan sebagai sunnatullah. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : "Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)" (QS. an-Nisa' : 86).
Ayat di atas mengajarkan bahwa perbeda-an merupakan sunnatullah dan sarana saling menghargai dan menghormati. Perbedaan bukan untuk memicu fitnah, kebencian, perpecahan, dan permusuhan.
Keenam, Seorang ilmuan dibuktikan dari karya nyata dan kebermanfaatannya, bukan sekedar mengandalkan kepiawaian bermain kata dan unggahan di media sosial semata. Begitu jelas terlihat perbedaan antara ilmuan hakiki dengan ilmuan imitasi. Allah berfirman : ".... Kata-kanlah (Nabi Muhammad), apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah) ? Sesungguh-nya hanya ulul albab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran" (QS. az-Zumar : 9).
Ayat di atas begitu tegas menjelaskan per-bedaan orang yang berilmu dengan orang yang jahil. Orang yang berilmu mendahulu-kan adab dan mengamalkan agamanya secara
benar. Dengan demikian, ia akan mampu membedakan yang benar dan salah, serta mengambil keputusan yang bijaksana. Ciri ilmuan hakiki dinyatakan Rasulullah SAW melalui sabdanya : "Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja dilakukan secara itqan (profesional)" (HR. Thabrani).
Hadis di atas mempertegas beda ilmuan yang bekerja serius sesuai keahlian deng-an sosok pamer gelar dan status guna menyembunyikan ketidakmampuannya. Bila hasil diraih, ia tampil mengaku paling berjasa bak "pahlawan kesiangan. Tapi, bila mengalami kegagalan, maka dicari alibi dengan "mengkambinghitamkan" dan menyalahkan orang lain.
Ketujuh, Ilmuan hakiki bercermin untuk jasmani (adab) dan rohani (tawadhu' dan ikhlas). Melalui cara ini, ia mampu melihat keagungan-Nya dan kelemahan dirinya sebagai hamba. Sementara ilmuan imitasi hanya bercermin sisi jasmani agar dipuji dan dihormati.
Meski cermin yang digunakan Abu Nawas begitu sederhana, tapi memiliki arah tuju yang tajam. Tampilan sosok ilmuan tanpa adab pada masanya dan ilmuan imitasi --setelahnya-- bermunculan (dinamis) begitu nyata. Sosok ilmuan imitasi mengedepan-kan "casing" dan retorika, tanpa kualitas dan adab mulia. Produksi culas ini begitu subur tanpa malu. Menjadikan proses tak lagi jadi acuan dan berharap hasil akhir menjadi tujuan. Kondisi ini menyebabkan gelar hanya sebatas status. Sayangnya, kemunculan ilmuan imitasi selalu tampil dipusaran peradaban. Sementara, sosok ilmuan hakiki (istiqomah) berada diping-giran dan kurang disenangi. Akibatnya, kerusakan peradaban tak bisa dihindarkan. Semua ini merupakan tanda akhir zaman, yaitu ketika "budak
melahirkan tuannya". Sungguh, manusia hanya bercermin untuk mempercantik jasmani, tapi lupa untuk membersihkan akal, hati, dan mulutnya yang kotor. Untuk itu, wajar bila cahaya-Nya (kebenaran) tak pernah hadir pada diri hamba yang "membusuk". Na'uzubillah...
Wa Allahua'lam bi al-Shawwab.***
Prof Samsul Nizar adalah Guru Besar IAIN Datuk Laksemana Bengkalis dan Waketum PB-ISMI.